Seni Sholawat Gembrungan di Kawasan Wengker

 

: ngablak dalu Mashuri Alhamdulillah

Selain Reog Ponorogo, terdapat seni tradisi Ponorogo yang berlabel Islam santri, yaitu shalawat Gembrungan. Dinamakannya shalawatan tersebut dengan Shalawat Gembrungan karena instrumen utama dari seni ini hanya terdiri dari kendang dan gembrung.

Gembrung adalah kendang besar yang pada satu sisi dipasang kulit untuk ditabuh dan pada sisi lain dibiarkan berlubang terbuka kira-kira sebesar 1/5-nya. Dalam perkembangannya, musiknya ditambah dengan ketipung dan kencreng untuk melengkapi komposisi suara musik gembrungan. Hingga kini belum ada yang dapat memastikan awal kemunculannya. Diduga seni baca shalawat bersama-sama yang sudah ada pada masa zaman kewalian sekitar abad ke-14 hingga ke-15.

Para anggota Shalawat Gembrungan tidak hanya harus kuat dalam olah suara, tapi juga harus punya daya tahan tubuh yang kuat, karena biasa acaranya dimulai pukul 21.00—03.00 dini hari. Pada awalnya, Shalawat Gembrungan diadakan pada saat perayaan Maulud Nabi, tiap tanggal 12 Rabiul Awal, tapi pada perkembangannya dilantunkan untuk misi lain.

Terlepas soal misi kegamaan, seni ini juga karib dengan kehidupan masyarakat dalam daur hidup atau siklus peralihan. Shawalat Gembrungan ini biasanya diadakan pada beberapa momen penting kehidupan anak manusia, misalnya saat peringatan kelahiran bayi dan saat bayi berumur 7 bulan (peringatan 7 bulanan atau mitoni).

Perjalanan seni ini memang timbul dan tenggelam seiring dengan perkembangan zaman. Diperkirakan pada tahun 1970-an seni ini sudah mulai jarang ditampilkan mungkin karena sudah mulai banyak pilihan lain seperti seni samroh atau hadrah yang lebih modern. Hingga pascareformasi, seni gembrungan baru terdengar lagi yang merevitalisasi dan melestarikannya.

Pada zaman kejayaan seni gembrungan, setiap orang punya anak usia 7 bulan, akan mengundang seni gembrungan ini yang tidak memungut baiaya sepeser pun dari tuan rumah. Tuan rumah hanya menyediakan tempat dan menyajikan makanan sesuai dengan kemampuannya. Biasanya ya ng melaksanakan seni gembrungan adalah kaum laki-laki dewasa.

Seni ini memang tidak hanya tersebar di Ponorogo, tetapi di bekas kerajaan Wengker, yang dalam masa kolonial di bawah administrasi Karesidenan Madiun, dan sekitarnya, termasuk Ponorogo, Madiun, Magetan, Trenggalek, Pacitan, dan Ngawi. Namun, di Ponorogo seni gembrungan berkembang dan populer di desa-desa yang berbeda dengan shalawatan serupa di kawasan subkultur Mataraman.

Misalnya, syair-syair atau tembang shalawat berbeda dengan kawasan sekitarnya dengan etnopuitikanya khas, yang mengarah pada mantra dengan paduan antara shalawatan (Arab) dengan siir-siir Jawa dengan bentuk-bentuk pengucapan yang tidak hanya mengarah pada nasehat semata tetapi dalam bentuk sastra yang unik. Salah satu contohnya adalah larik-larik dalam “Bawanan Shalarabbuna” yang berbeda dengan umumnya shalawat serupa.

Beberapa grup berdiri dengan mengambil nama dari judul syair shalawatan yang populer, semisal Bawanan Shalarabbuna, Khataman Nabi, dan nama tokoh populer di Ponorogo sendiri yaitu Ki Ageng Muhammad Besari. Dari data sementara, beberapa waktu lalu, Shalawat Gembrungan di Ponorogo kurang lebih terdapat 40 grup dan tersebar di beberapa desa. Entah sekarang yang masih tersisa berapa jumlahnya. Ehm.

Gituh sajah.

MA
On Siwalanpanji, 2021
Ilustrasi ramban dari Surya Online via Google