Kisah Robin Hood Van Jawa (1)

DUA LURAH LEGENDARIS DI SIDOARJO TEMPO DOELOE cukup terkenal sebagai Robin Hood Van Jawa. Berikut ini catatan blusukan Mashuri Alhamdulillah.

Keberadaan maling budiman, maling sakti, dan maling pembela rakyat kecil di Jawa adalah sebuah khasanah unik tempo doeloe. Yeah, ingatan kita akan diseret pada kisah Robin Hood di Britania, yang mashur ke seantero jagad. Di Tanah Air, yang paling tenar tentu adalah sosok Brandal Lokajaya, yang pernah dilakoni Sunan Kalijaga.

Selain Brandal Lokajaya, sederet nama-nama brandal dan menjulang juga cukup banyak di kalangan kita, baik yang menjadi pahlawan rakyat atau musuh tokoh utama dalam sejarah yang juga melegenda. Oleh karena itu, dengan berpatok pada pandangan untuk mengulik hal-hal yang selama ini dianggap ‘remeh’, ‘tersisih’, dan ‘gelap’ dalam anggitan umum, bakal diulik kisah-kisah tersebut, mulai dari kisah mainstream hingga nonmainstream, mulai dari tradisi cangkeman hingga warisan kisah yang tersurat dalam naskah kuno. Untuk yang pertama ini, saya awali dari Bumi Delta, Sidoarjo.

Usut punya usut, tapi tidak sampai kusut, di Sidoarjo, Jawa Timur, pada masa Hindia-Belanda, bukan hanya Sarip Tambak Oso seorang yang dikenal sebagai pahlawan rakyat. Di kawasan Kecamatan Prambon, terdapat sejumlah tokoh masyarakat, tepatnya lurah, yang dikenal sebagai pahlawan rakyat, bahkan karena tabiatnya yang mirip Robin Hood, mereka layak diberi gelar Robin Hood van Sidoarjo.

Menurut GK, perangkat desa di Gedangrowo, Prambon, lurah di kawasan kecamatan Prambon pada masa Belanda memang dikenal sebagai lurah fenomenal. Adapun di Gedangrowo, yang cukup dikenal adalah Mbah Lurah Kertomarsaid. GK bahkan menyebut bahwa lurah ini adalah ‘benggol perampok’, namun berhati baik, karena hasil jarahannya itu dibagi-bagikan pada masyarakat desanya yang kala itu dilanda kemiskinan dan kekurangan pangan.

“Memang tidak pantas jika disebut benggol perampok, karena saya adalah keturunannya. Tetapi merampoknya untuk kebaikan, karena hasil jarahannya dibagi-bagi. Jadi beliau itu merampok untuk warganya,” tegas GK. “Dia sakti dan disegani pada masanya,” lanjutnya, yang tidak tahu tahun berapa persisnya, tetapi ia mengaku sebagai keturunan ketiga.

Ihwal kecenderungan tersebut, S, kepala dusun Gedangrowo memberi contoh yang agak sedikit cocok terkait dengan sebutan pahlawan rakyat, sebagaimana Sarip Tambak Oso. Namun, yang jelas, sesuai dengan namanya Marsaid, S menjelaskan bahwa apa yang dilakukan lurah tempo doeloe itu hampir sama dengan apa yang dilakoni oleh Sunan Kalijaga pada masa mudanya, yang masa itu namanya adalah Raden Said, dan bergelar berandal lokajaya.

“Laku yang ditiru memang mirip Sunan Kalijaga pada masa mudanya, merampok untuk rakyat miskin,” tegas S.

Masa lalu Gedangrowo memang agak suram jika terkait dengan hubungannya dengan Belanda. Di kawasan ini, terdapat sebuah wilayah yang bernama Karang Kletak, dulu dikenal sebagai kawasan tak berpenghuni dan angker, yang pada masa Belanda pernah dijadikan sasaran penyerbuan.

“Menurut kisah-kisah dulu, pernah ada bom Belanda yang busung atau tidak meledak ketika menyerbu situ. Di situ, ada kuburan waliyullah dan lama tidak berpenghuni,” tegas MG salah satu sesepuh Gedangrowo, yang dikenal sebagai Kiai Bogang.

Hanya saja tidak diketahui hubungan antara serangan Belanda itu dengan tabiat Mbah Lurah Marsaid yang sering menjarah barang-barang milik Belanda dan orang kaya pada masa itu untuk dibagikan ke masyarakatnya yang dilanda kekurangan pangan. Ternyata bukan hanya lurah ini saja yang memiliki kecenderungan nyeleneh tersebut. Gatot menyatakan bahwa lurah masa lalu Desa Wirobiting, juga dikenal sebagai salah satu benggol juga.

“Lurah Wirobiting juga salah satu benggol juga,” tegas GK, ketika saya tanya siapa saja lurah jadul mirip Mbah Lurah Marsaid.

Terkait dengan lurah Wirobiting pada masa lalu, perangkat Desa Wiroboting tidak menjelaskan bahwa lurah tempo doeloe di Wirobiting adalah seorang ‘robin hood’, tetapi yang jelas, lurah Wirobiting tempo doeloe, yang bernama Mbah Lurah Nambi (segera mengingatkan pada pembesar Majapahit yang turut membantu Raden Wijaya mendirikan Majapahit), memang lurah paling disegani seantero Prambon, dan dianggap sakti mandraguna, alias jadug.

“Beliau menjadi lurah sebelum tahun 1920-an, atau sekitar tahun 1914, saya kurang tahu persisnya. Tetapi berdasarkan cerita tutur, beliau itu suka memakai blangkon dan naik kuda. Pada hari-hari tertentu, lurah-lurah di Prambon itu berkumpul di Wirobiting ini, karena beliau dianggap sebagai tetua lurah,” terang SD, perangkat Desa Wirobiting.

“Ia sakti, berwibawa dan kedotan, alias kebal. Kalau tidak begitu, tentu akan ditertawakan atau disepelekan oleh lurah desa lainnya. Selain itu, pada saat itu masa Belanda, jadi dugdeng itu sebuah keharusan,” tambahnya.

Lurah Nambi berdiam di sebuah rumah berarsitektur Indis, yang kini dibiarkan kosong dan lapuk. Saya sempat menjepretnya tapi ketlisut. Selain sakti dan disegani, ia dikenal sebagai lurah yang peduli pada warganya. Dijelaskan oleh HS, modin Wirobiting, salah satu bentuk kepeduliannya adalah setiap selapan hari, yakni 35 hari sekali, Mbah Lurah Nambi ini melakukan ritual khusus untuk ketentraman Desa Wirobiting.

“Beliau membentengi desa ini dengan ritual memutari desa setiap Kamis Kliwon malam Jumat Legi. Menurut penuturan perangkat sepuh, ritualnya adalah ucal busono, alias berjalan memutari desa dengan lepas pakaian, alias telanjang. Tujuannya agar desa ini tenteram, tidak rusuh, juga damai,” tegas HS.

Selain itu, Mbah Nambi merupakan lurah yang menyatukan tiga kelurahan, yang terdiri dari lima dusun itu menjadi satu, yaitu Wirobiting yang dikenal sekarang. Kiranya, banyak lurah jadul yang memiliki performa demikian, apalagi pada masa sebelum Indonesia merdeka.

MA
On Sidokepung, 2021
Ilustrasi jepretan sendiri. Rumah Mbah Lurah Nambi.