Logika Terbalik, Dari Media Online ke Cetak

Oleh : Singgih Sutoyo-Pemimpin Redaksi Viralkata.com.

Memang sikon saat ini tidak mudah bikin majalah. Terbitnya majalah Viralkata.com adalah edisi cetak media online. Sepertinya ada logika yang terbalik, biasanya dari media cetak muncul penguatan ke media online, seperti yang terjadi di beberapa media cetak. Ada Sindonews.com, Kompas.com, JPNN.com, Tempo.co, dan media online yang menjadi penguat media cetak.
Saat ini disebut masa disrupsi media cetak. Perkembangan informasi dan teknologi yang mengarah pada digitalisasi.
Key Performance Indicator media cetak pada era ini bukan cuma ditentukan oleh kualitas produk jurnalistiknya, melainkan juga diukur secara presisi jumlah user, jumlah share, hingga berapa traffic yang berhasil di-generate oleh setiap tulisan.
Seperti manajemen Tempo boleh berlega hati, target go digital mereka sudah menemukan titik cerah. Yup, awal 2017 ini mereka baru saja mendapat suntikan modal untuk mendukung proses transformasi menuju industri digital.
Maklum saja, go digital membutuhkan modal untuk membangun infrastruktur yang tidak sedikit. Melalui pintu investasi ini, Tempo.co dipersiapkan sebagai portal untuk pintu masuk semua channel, baik majalah, koran mau pun online.
Saat ini Tempo sudah mempunyai tiga format digital: apps, replika (pdf) dan webbase majalah Tempo.co. “Ini strategi yang sudah direncanakan lama. Bagian dari how to survive kami di era disruptive,” papar Wahyu Dhyatmika, Redaktur Eksekutif Majalah Tempo tanpa menjelaskan besaran investasi yang baru mereka terima, serta sumbernya.
Maklum saja, Key Performance Indicator (KPI) bagi media pada era ini bukan cuma ditentukan oleh kualitas produk jurnalistiknya, namun juga ukuran presisi tentang jumlah user, jumlah share, hingga berapa traffic yang berhasil di-generate oleh setiap tulisan. Untuk mengukur indikator-indikator tersebut tentu dibutuhkan kelengkapan perangkat lunak yang tidak sedikit biayanya. Keputusan go digital otomatis juga menambah fungsi-fungsi baru yang sebelumnya tidak ada dalam media konvensional.
Selain membutuhkan programer lebih banyak, muncul berbagai fungsi yang sebelumnya tidak ada di media cetak seperti webdesainer, front ad specialist, lebih banyak programmer, data visualitation, dan data scienties.
Sejatinya, awak redaksi dan usaha Tempo grup sudah memberi sinyal kepada semua SDM-nya bahwa mereka harus mempersiapkan perubahan habit terkait trend disruptive. Apalagi sejak empat tahun lalu, bisnis majalah dan cetak memperlihatkan tren penurunan.
Persiapan go digital akhirnya dimulai sejak dua tahun silam. Salah satu yang dilakukan adalah membentuk tim transformasi digital dan melakukan konvergensi redaksi. Dengan sistem tersebut, semua wartawan mencari konten yang disetor secara terpusat melalui newsroom tunggal. Output dari newsroom inilah yang kemudian dipilah-pilah mana yang cocok untuk distribusi konten majalah, koran dan online.
Nyatanya strategi itu tidak memberi dampak signifikan. Bisnis Tempo Group tetap menurun. Di sisi lain cost setiap divisi menjadi tidak terukur karena bebannya bercampur. Kualitas produk jurnalistik juga dinilai menurun, karena wartawan memasok konten sekadar untuk memenuhi kuota.
Dari sisi internal, manajemen juga melakukan pembenahan hubungan antara silo dengan mulai membiasakan komunikasi lintas unit, di mana tim sirkulasi dan iklan memberi masukan yang selama ini hampir tidak terbayangkan oleh redaksi.
Selama ini tim iklan seringkali keteteran karena tidak dilibatkan dalam pembahasan tema editorial. Independensi (idealisme) dan pasar, Mestinya tidak harus bertentangan. Koordinasi tetap dilakukan tapi garis apinya ditafsirkan berbeda.
Kalau dulu antara tim redaksi dengan tim bisnis sama sekali tidak boleh ada komunikasi, sekarang komunikasi itu dilegalkan selama tidak ada intervensi. Namun begitu, dalam eksekusi produk, iklan dan advertorial tetap dikatakan sebagai iklan.
Masuknya era disrupsi di dunia bisnis menghadirkan tantangan dan sudut pandang baru bagi pelaku bisnis dalam menjalankan usahanya. Contohnya terlihat pada perkembangan teknologi dan informasi yang merubah secara fundamental tatanan berusaha.
Bagi industri media cetak , para pelaku bisnis tidak bisa hanya mengandalkan keuntungan dari penjualan sirkulasi dan iklan di tengah oplah yang terus menurun.
Riset Nielsen Indonesia memperlihatkan bahwa belanja iklan media konvensional pada 2017 memang menunjukkan tren peningkatan 8% dengan nilai Rp145,5 triliun. Namun, kondisi tersebut ditopang dengan belanja iklan di media televisi yang mencapai 80% dari total belanja.
Berbanding terbalik dengan belanja iklan media cetak yang justru menunjukkan tren penurunan.
Hal ini terlihat dari data belanja iklan koran yang turun 3% dibanding 2016 menjadi Rp28,5 triliun. Demikian pula belanja iklan majalah dan tabloid susut 31% menjadi Rp 1,1 triliun.
Berkurangnya media cetak yang beroperasi menjadi alasan penurunan tersebut, selain itu para
Dilansir dari Bisnis sebelumnya, Corporate Communication ManagerGrowinc Group Indonesia Dyama Khazim Setyadi menuturkan, prospek belanja iklan di media daring ke depan akan tumbuh. HAl ini terlihat dari tren belanja iklan digital sejak 3—5 tahun terakhir yang mengalami peningkatan.
Terlebih, iklan lewat media digital bisa dilakukan dengan biaya minim, dan bahkan, banyak individu maupun pelaku UKM yang mulai beriklan.
Pengamat Periklanan Muhammad Jaiz juga menilai akan terjadi perubahan belanja iklan ke arah digital. Tren itu dipicu masifnya pengguna media sosial dan internet, sehingga pengiklan ramai-ramai berpindah ke media daring atau digital
Lantas, bagaimana bisnis media cetak mempertahankan eksistensi di tengah disrupsi ini? Presiden Direktur Bisnis Indonesia Group, Lulu Terianto, mengungkapkan kendati senja kala media cetak berada di depan mata, bisnis koran tetap memiliki peluang untuk terus berlanjut karena memiliki segmen pembaca yang setia.Oplah memang menurun, tetapi berita media cetak memiliki keunggulan dari segi kualitas dibanding berita daring.
Perkembangan teknologi, juga menjadi pendorong bagi media cetak untuk terus berinovasi. Salah satu solusi yang diambil adalah digitalisasi dalam bentuk e-paper guna menjangkau pembaca yang lebih luas. Selain melakukan langkah digitalisasi, pebisnis media juga dapat memanfaatkan peningkatan akses berita daring sebagai peluang iklan.
Meski kekhawatiran media cetak dapat diselesaikan melalui digitalisasi dan optimalisasi iklan daring, Jemy V. Confindo, CEO Blanja.com menilai bahkan media daring pun menghadapi tantangan dari kehadiran influencer yang memanfaatkan media sosial untuk mendulang untung dari iklan.
Bisnis seperti media pemberitaan pun harus tetap menjaga core (inti) bisnisnya, mencoba mengejar keuntungan iklan tidak akan mudah karena para influencer di media sosial tersebut lebih spesifik.