Menanti Sosok Pemimpin Ideal Kita

Oleh : Irwan Hidayat*

Pemilukada adalah satu mekanisme demokrasi untuk melahirkan pemimpin yang betul-betul memiliki karakter dan bisa memimpin rakyatnya dengan seadil-adilnya. Seperti yang dicontohkan para pemimpin Islam yang telah membuat rakyatnya menjadi sejahtera. Pertanyaannya, sosok seperti apa pemimpin yang kita nantikan? Ciri-ciri pemimpin muslim sejati adalah tidak tirani, adil dan tidak korup. Sebab seorang pemimpin negara dalam Islam adalah Khalifah an-Nubuwwah, artinya menggantikan tugas Nabi SAW baik dalam urusan duniawi, agama maupun negara. Ia harus mengerti ilmu agama sekaligus politik.

Sehingga, penguasa negara yang ideal dalam Islam adalah kombinasi umara-ulama. Sebab pemimpin yang demikian adalah adil dan beradab. Adil adalah syarat utama menjadi penguasa yang ideal. Konsep adil dalam Islam adalah memihak kepada yang benar dan membetulkan yang salah. Dalam Islam, kepemimpinan merupakan salah satu elemen penting. Wajib hukumnya mengangkat satu orang amir (pemimpin) dalam suatu komunitas masyarakat, agar komunitas sosial tersebut mampu menegakkan kebenaran dan keadilan.

Sebab penegakan keadilan tidak mungkin dicapai kecuali dengan otoritas seorang pemimpin. Rasulullah SAW bersabda: Tidak boleh bagi tiga orang berada dimanapun di bumi ini, tanpa mengambil salah seorang di antara mereka sebagai amir (pemimpin). Peran penting pemimpin dalam Islam ini menunjukkan, bahwa ilmu politik (al-siyasah) adalah urgen bagi umat Islam dan dalam fiqh al-siyasah hukum mempelajarinya adalah fardhu kifayah. Ibnu Taimiyah mengatakan, pentingnya mengangkat pemimpin disebabkan karena tanpa seorang pemimpin tidak akan tercipta ketenangan, ketentraman dan kesejahteraan dalam masyarakat. Dengan terealisasinya kemaslahatan tersebut, masyarakat Islam akan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Oleh karena itu, kewajiban seorang penguasa bukan hanya menjaga kebutuhan materi masyarakat, akan tetapi lebih dari itu, memelihara ketentraman sosial dan kebenaran menjalankan agama, agar selalu dalam susana kondusif. Ia melindungi jasmani rakyatnya, juga menguatkan rohaninya agar sesuai syariah. Karena peran inilah, seorang amir dalam perspektif Islam memegang posisi yang sangat menentukan masa depan rakyat yang dipimpin. Maka, dalam fiqh al-siyasah seorang pemimpin disebut khalifah al-nubuwwah pengganti Nabi baik dalam urusan dunia, agama atau negara. Maka sistem yang dipegang seorang pemimpin juga harus kuat.

Perpaduan yang ideal antara sistem dan pemimpin akan membawa rakyat pada kehidupan makmur dan berkualitas. Dalam kaca mata Islam, kepemimpinan memiliki ciri khas tersendiri. Yaitu keharusan adanya seorang pemimpin dalam seluruh perkara, apalagi perkara besar seperti negara. Sebab tidak akan ada gunanya pelaksanaan suatu sistem apabila tidak ada orang yang memimpin pelaksanaan sistem tersebut. Dalam al-Siyasah al-Syariyah Ibnu Taimiyah memberi petunjuk, memilih pemimpin bukan atas dasar golongan dan hubungan kekerabatan. Akan tetapi masyarakat harus mengutamakan profesionalitas dan amanah. Syarat kredibilitas dan amanah seorang pemimpin oleh Imam Al-Ghazaliy dalam al-Tabru al-Masluk fi Nashihati al-Muluk dimaknai sebagai seorang yang berbuat adil di antara masyarakat, melindungi rakyat dari kerusakan dan kriminalitas dan tidak zalim (tirani).

Imam Al-Mawardi memberi persyaratan lebih rinci. Seorang pemimpin haruslah memenuhi kriteria: Pertama, memiliki integritas. Kedua, penguasaan dalam bidang ilmu negara dan agama, agar menentukan kebijakan ia bisa berijtihad dengan benar. Ketiga, sehat panca inderanya (mata, pendengaran, lisan tidak terganggu yang dapat menghalangi ia menjalankan tugas). Keempat, tidak cacat yang dapat mengganggu tugas. Kelima, pemberani memiliki keahlian siasat perang. Keenam kemampuan intelektual untuk mengatur kemaslahatan rakyat dan terakhir adalah berasal dari nasab qurays.

Beberapa ulama memberi kelengkapan syarat, yaitu seorang pemimpin mesti mewarisi sifat-sifat Nabi Muhammad SAW seperti jujur, cerdas (memiliki pengetahuan dan kecakapan dalam memimpin), amanah (dapat dipercaya), dan tabligh (mampu berkomunikasi baik dengan semua orang dari berbagai strata sosial). Ciri kepemimpinan Rasul ini menurut para ulama harus dimiliki karena, seorang pemimpin dalam perspektif Islam berposisi sebagai Khalifah al-Nubuwwah. Selain itu, potret kehidupan para khalifah terdahulu yang penuh kesadaran dan kesederhanaan menjadi kaca bagi para pemimpin saat ini. Khalifah Umar bin Khattab RA misalnya, setiap malam berkeliling Kota Madinah memastikan rakyatnya aman dan terpenuhi kebutuhan makanannya. Dalam Dinasti Umayyah, sosok Umar bin Abdul Aziz, yang masyur dengan julukan Umar Kedua karena sifat dan karakternya mewarisi Umar bin Khattab RA, terkenal dengan zuhud dan wara-nya. Kekhilafahannya saat itu mencapai zaman keemasan akan tetapi ia tidak larut dan lalai menikmati kekayaan negaranya. Kesederhanaannya itu dibuktikan dengan kesahajaan memegang harta. Harta pribadi dan keluarganya diserahkan ke Baitul Mal.

Secara umum dapat disimpulkan, sosok figur pemimpin ideal menurut perspektif Islam adalah; calon pemimpin haruslah seorang muslim yang konsisten menjalankan perintah agama (istiqamah) dan tidak tirani berbuat zalim sebagaiman disyaratkan oleh al-Ghazali. Syarat ini oleh Imam al-Mawardi disebut adalah, seorang kafir juga tidak sah menjadi kepala negara, sebagaimana dijelaskan dalam surat (al-Nisa : 141). Jika pemimpin itu seorang muslim yang istiqamah dan bertakwa, maka dalam menjalankan kepemimpinan ia pasti amanah. Persyaratan selanjutnya adalah merdeka, (bukan budak), karena seorang pemimpin tidak boleh di bawah bayang-bayang kekuasaan orang lain. Syarat lainnya adalah tafaqquh fi al-din (memiliki pengetahuan dan pemahaman agama yang baik). Sebab menurut al-Mawardi, kepala negara tidak hanya menguasai ilmu politik tapi juga harus menguasai agama layaknya ulama, dalam istilah lain seorang pemimpin negara itu harus umara sekaligus ulama.

Kolaborasi negarawan dan agamawan merupakan keharusan untuk menciptakan suasana aman, damai, dan sejahtera serta berjalan dalam koridor agama (Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur). Jika pengetahuan agamanya belum memadai, maka ia harus memiliki penasihat keagamaan, atau wakilnya adalah seorang ulama.

*Penulis adalah Asli Kelahiran Sumenep dan Mahasiswa IAIN Jember*