REDENOMINASI RUPIAH = “DELUSI” NOMINAL

Blitar -Menara Madinah.com-1 agustus 2020
Sejak penyederhanaan nilai rupiah digulirkan mulai tahun 2010, kini masalah tersebut mulai santer di bicarakan. Tidak terkecuali masuk dalam diskusi – diskusi Nasional maupun Seminar – seminar di kampus bahkan masyarakat pelosok ikut memberikan argumentasinya. Media masa pun kian sering mengangkat berita menjadi topik utama dalam sebuah pemberitaanya. Disisi lain tentunya ada pihak yang pro dan kontra sehingga istilah Redenominasi semakin akrab terdengar di telinga kitaRedenominasi sendiri berarti menyederhanakan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya. Kita ambil contoh uang pecahan 1000 rupiah akan di sederhanakan menjadi 1 rupiah dan seterusnya, atau dengan kata lain menghilangkan cara penulisanya tetapi tidak mengurangi nilai tukarnya. Masalah mungkin bisa timbul bilamana nilai uang tersebut pecahan misal, 1350 rupiah akan menjadi 1,35 rupiah dan seterusnya. Kita bisa bayangkan betapa bingung dan repotnya masyarakat kecil kususnya masyarakat dengan usia lanjut, dan para pedagang kecil yanh ada di pasar – pasar tradisional, karena mereka kebanyakan menggunakan transaksi atau ambil untung sedikit dan biasanya nominal pecahan. Kebijakan semacam ini seperti mengulang awal tahun 2000, saat itu BI telah menggulirkan ide redenominasi, bahkan tahapan sosialisasinya pun sudah mulai di gelar. Namun, pada akirnya ide tersebut mentok di DPR, yang menganggap kebijakan tersebut kurang urgen.

Menilai urgensi kebijakan ini memang gampang – gampang susah, toh hanya menghilangkan tiga angka nol dalam satuanya, sedangkan nilainya tidak berubah, artinya tidak bakal merubah secara drastis keadaan perekonomian. Kita harus jujur sejatinya masyarakatpun sudah melakukan kebijakan ini secara terselubung, contohnya cafe, restoran, warung, bahkan pedagang kaki lima kerap menghilangkan tiga nol paling belakang dalam penulisan harga atau daftar menunya misal di tulis 10K yang artinya 10000 rupiah, dengan tidak mengurangi nilai suatu produknya. Jadi kebijakan ini tidak terlalu baru atau populer bagi pelaku usaha serta tidak urgen di masa pandemi saat ini. Mungkin hanya akan berdampak mengangkat citra Rupiah terhadap mata uang Internasional kususnya Dollar yang menjadi acuanya. Selanjutnya jebijakan ini hanya “mengatasi” ketidak efisiensi penulisan atau cara transaksi ( ATM,OnlineBanking dll), namun tidak memberikan dampak positif perekonomian secara langsung. Masyarakat akan di “paksa” beradaptasi dengan nilai mata uang baru tersebut. Terakir penulis berharap, pembuat atau pengusung kebijakan memperhatikan, bahwasanya Redenominasi terhadap Rupiah hendaknya jangan sampai menjadikan “Delusi” Nominal terhadap masyarakat secara Nasional.(Marginal SE)