Idhul Adha : Dimensi Ketauhidan dan Sosial

Oleh: Muhamad Nur Purnamasidi.


Idul Adha yang lazim di negara kita disebut juga Idul Qurban. Bagi kaum muslimin, momentum ini merupakan salah satu hari raya yang sangat bernilai setelah Hari Raya idul Fitri. Perayaan Idul Adha tidak bisa dilepaskan kaitanya dengan ritual ibadah yang menjadi salah satu rukun Islam itu sendiri yakni ibadah haji. Di saat jutaan umat muslim melakukan ibadah haji di tanah suci Mekah, berkumpul bersama di padang Arafah untuk “menyempurnakan” salah satu rukunnya yakni berwukuf.
Kegiatan peringatan Idul Adha juga sangat terkait dengan fakta sejarah agung ketika Nabi Ibrahim mendapatkan perintah langsung dari Allah SWT, melalui mimpinya. Berulangkali mimpi itu datang dengan pesan yang sama yakni diperintahkan untuk “menyembelih” putra tercintanya yang bernama Ismail. Proses pergumulan perang bathin yang tentunya tidak mudah.          Sebagai seorang ayah yang telah begitu lama mendambakan generasi penerus peradaban, tiba tiba dihadapkan pada pilihan sulit. Dilema antara mengikuti perintah Allah dengan “mengorbankan” kesenangan duniawi – dengan diberikannya anugerah amanah berupa anak-, dengan suara nurani kemanusiaan seorang ayah yang sangat menyayangi dan mengasihi putra tercinta.
Proses dialog atau musyawarah pun terjadi antara Nabi Ibrahim dengan puteranya Ismail. Hal tersebut jelas mengindikasikan betapa demokratisnya Nabi Ibrahim sebagai seorang ayah. Tidak serta merta menjalankan langsung “perintah” Allah dengan mengekskusi, melakukan “penyembelihan.” Tetapi tetap memberikan opsi atau pilihan serta “ijin” dari anaknya. Hal ini tentunya memberikan sebuah pelajaran berharga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dimana kekuasaan (pemerintah) tidak selamanya secara absolut dipaksakan untuk menjalankan sebuah kebijakan. Tetapi ada proses yang harus dilalui agar tidak terjadi penyalahgunaan atau penyimpangan dalam menentukan serta menjalankan kebijakan yang ditetapkan.
Dari proses pembicaraan tersebut, disepakati bahwa Nabi Ibrahim akhirnya harus menepati “Janji” sebagai seorang hamba kepada Tuhan. Tentu hal tersebut merupakan bentuk ujian ketauhidan yang luar biasa dalam sepanjang sejarah manusia. Bagaimana tidak, sebagai seorang ayah harus merelakan putera yang sangat dicintainya, untuk dikorbankan sebagai perwujudan ketaatannya pada perintah Allah. Padahal sebagaimana kita ketahui, kelahiran Ismail merupakan sebuah impian besar yang sangat dinanti Ibrahim.

Setelah istri pertamanya yang bernama Siti Sarah belum juga memberikan keturunan. Siti Hajar yang merupakan ibu kandung dari Ismail – yang semula adalah seorang budaknya sendiri- akhirnya dinikahinya demi mendapatkan keturunan.
Keteguhan hati seorang ayah justru timbul dan berangkat dari “keluguan” Ismail yang dengan sifat serta jiwa kanak kanaknya telah mampu memberikan kesadaran ketauhidan yang paripurna. Kita semua sebagai manusia, sebagai makhluk ciptaan-NYA telah menahbiskan diri bahwa hidup dan mati, segala amal ibadah kebajikan kita semua, demi dan untuk Allah SWT.       Keikhlasan dan keteguhan serta kepatuhan total dalam menjalankan perintah Allah merupakan bukti nyata penghambaan kita. Keyakinan yang kuat dan tanpa ragu ragu demi menjalankan perintah sebagai seorang hamba itulah yang kemudian berbuah manis. Allah SWT., atas kuasanya ketika pedang telah terhunus serta siap “menyembelih” Ismail digantikan dengan seekor domba gibas. Sungguh kisah tersebut merupakan cerminan yang patut dan harus kita teladani dalam konteks dan suasana serta tantangan yang berbeda.
Idul Adha: dimensi Ketauhidan dan Sosial
Situasi peringatan dan perayaan hari besar Idul Adha 1441 Hijriyah/2020 Masehi kali ini tentunya memiliki nuansa yang berbeda dibanding dengan tahun tahun sebelumnya. Meski secara substansi dan nilai ajaran masih tetap sama. Dikatakan demikian, karena situasi pandemic covid – 19 era new normal dimana kita dituntut untuk tetap patuh pada protocol kesehatan dan keamanan yang telah ditetapkan pemerintah melalui Gugus Tugas.
Kondisi yang demikian, justru semakin memberikan kesadaran bersama akan urgensi atau pentingnya bagi kita umat muslim untuk menjaga dan menguatkan ukhuwah (persaudaraan/persatuan). Sebagaimana telah dikonsepsikan secara brillian oleh KH. Akhmad Siddiq (alm.) dari Jember Jawa Timur yakni ukhuwah Islamiyah (persaudaraan umat Islam), ukhuwah Wathaniyah (persaudaraan se-bangsa), ukhuwah Basyariyah/insaniyah (persaudaraan umat manusia).

Dalam konteks itulah menjadi sangat berarti bagi kita bahwa di tengah situasi pandemic covid -19 ini – meski ada batasan batasan tertentu- tetapi tidak mengurangi, apalagi menghilangkan substansi serta nilai ajaran yang sublime atau agung dari agama.
Bahwa dalam perayaan Idul Adha terdapat dimensi ketauhidan yang sangat nyata bagi kita sebagai muslim. Dimensi yang dimaksud adalah adanya perintah tegas dan terang benderang sebagaimana tertulis dalam Al Qur’an tentang perintah Berqurban. Kepatuhan dan ketaatan untuk menguatkan posisi sebagai hamba dalam arti yang sebenarnya.

NHal itu tentu dimaknai tidak hanya sebagai bagian ritual ibadah yang bersifat transendental, tetapi juga terdapat nilai sosial untuk membangun kebersamaan, persaudaran dan kerukunan sebagai sesama anak bangsa.
Nilai sosial yang dimaksud dalam kandungan ajaran dari peringatan Idul Adha, salah satunya adalah dalam hal pembagian hewan Qurban. Sebagaiman kita mafhumi bersama, daging hewan Qurban dalam ketentuan Syariah tidak hanya diperuntukkan bagi kaum muslimin saja, tetapi juga dibolehkan untuk diberikan dan dinikmati oleh pemeluk agama lainya.

Kandungan makna dari ajaran tersebut harusnya menjadi titik tumpu untuk semakin mengokohkan dan mempererat perasudaraan lintas agama.
Pemahaman akan substansi dan nilai ajaran ini perlu untuk terus ditumbuhkembangkan secara terus menerus dan berkelanjutan. Sehingga perayaan Idul Adha tidak sebatas ritual berbagi daging hewan Qurban, tetapi lebih jauh dan luas, juga dapat dijadikan sebagai sarana untuk membangun persaudaraan sejati, baik sesama muslim maupun dengan pemeluk agama lainya. Dengan demikian, momentum Idul Adha di tengah situasi pandemic covid-19 era new normal ini bisa lebih terasakan baik dari segi kemanfaatan secara social, maupun keyakinan yang semakin kuat dalam “pengabdian” kita sebagai hamba-NYA.
Bahwa hal penting dan mendasar dari perayaan Idul Adha adalah tidak sekedar sebagai manifestasi ketaatan dengan melakukan penyembelihan Qurban. Tetapi juga harus dibarengi dengan kesadaran yang utuh diiringi dengan “penyembelihan” terhadap sifat sifat iri, saling curiga, dengki, berbangga diri dan unjuk Kesombongan. Momentum yang sangat baik ini harus tetap dan terus dijadikan sebagai bentuk pengejawantahan dari semangat mulia demi dan untuk kemanusiaan dan keadilan.
Kita semua menaruh harapan besar melalui momentum perayaan Idul Adha kali ini untuk semakin mengukuhkan dan mengokohkan persaudaran kita ditengan situasi pandemic covid -19. Hanya dengan kebersamaan dan persaudaraan serta semangat gotong royong, kita akan bisa keluar dari situasi krisis di era new normal. Tanpa itu semua, maka tidak banyak yang bisa diharapkan untuk menjadikan perayaan Idul Adha ini sebagai pijakan yang kokoh untuk membangun kepedulian, meningkatkan solidaritas dan kepekaan social di antara sesama anak bangsa. Besar harapan kita, agar bangsa ini bisa segera keluar dari situasi krisis sebagai akibat “musibah” yang tidak diundang berupa covid – 19 dan mampu bangkit membangun kembali perekonomian nasional kita. Semoga.Lanjutan…..
Dengan demikian, makna idul adha tidak sekedar berbagi daging hewan, tetapi yang utama dan pertama adalah tumbuhnya kesadaran semangat kolektivitas untuk bersama, bergotong royong bahu nembahu agar situasi pandemi covid 19 ini segera berlalu dan kita sebagai bangsa bisa segera bangkit menggiatkan kembali usaha ekonomi produktif demi dan untuk stabilitas ekonomi nasional. Tuturnya dengan nada lembut tapi dg serius penuh optimisme.

______
Penulis adalah Anggota DPR RI Komisi X Fraksi Partai Golongan Karya, Dapil IV Jember Lumajang.