Harian DI’s Way, Memang Bukan Koran

0

Oleh:
Tofan Mahdi*

Akhirnya yang saya tunggu-tunggu itu datang. Harian DI’s Way. Saya dapat kiriman dua edisi dari Mbak Oemi, Sekretaris Redaksi, edisi Minggu 5 Juli dan Rabu 8 JulPaket itu tiba sore tadi di rumah di Cibubur tak lama setelah saya baru sampai di rumah. Penasaran bukan saja karena ingin melihat tulisan saya sebagai Guest Editor alias Redaktur Tamu, tapi juga penasaran dengan bentuk fisik harian yang resmi terbit pada 4 Juli 2020 lalu, tepat dengan peringatan 244 Tahun Kemerdekaan AS.

Setelah membuka bungkus plastiknya, langsung teraba fisiknya. Kertasnya halus. “Memang bukan koran,” batin saya. Sebagai orang yang bekerja 15 tahun di koran, tampilan fisik Harian DI’s Way memang bukan tampilan koran. Fisiknya bukan fisik koran. Kertasnya apalagi bukan kertas koran. Jadi wajar kalau memang tidak disebut koran.

Lantas disebut apa? Tabloid? Bukan. Majalah? Bukan juga, meski kalau meraba kertasnya seperti kertas majalah Times. Juga seperti kertasnya Oryx, inflight magazine Qatar Airways. Tapi bukan majalah juga karena format fisiknya bukan majalah. Jadi ya memang ini bukan koran, tabloid, pun majalah. Tetapi Harian DI’s Way. Sebuah media cetak yang terbit harian.

Harian DI’s Way yang didirikan Menteri BUMN 2011-2014 Dahlan Iskan memang seperti oase. Hadir ketika banyak yang menilai industri media (terutama cetak) sedang surut. Sunset industry. Tapi Dahlan Iskan yang sukses membangun imperium media di bawah payung Grup Jawa Pos meski kemudian ditinggalkannya, tetap melihat ada celah. Celah yang sempit namun ada. Kira-kira premis besar dari Pak Dahlan adalah bahwa industri media massa tetap bisa berkembang dengan syarat mampu menegakkan dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip jurnalistik. Yang jadi oase bukan saja tampilan fisiknya yang bukan koran, tetapi juga konten juga jurnalistiknya yang beyond koran. Inilah salah satu yang ditawarkan Harian Di’s Way.

Akankah sukses? Banyak yang pesimistis tetapi lebih banyak yang optimistis. Nama besar Pak Dahlan bukan satu-satunya alasan untuk optimistis. Tetapi ini akan menjadi tiitik balik untuk mengajak publik kembali ke khitah untuk
menikmati informasi yang berkualitas, aktual, kredibel, akurat, dan bisa dipertanggung jawabkan. Penulis yang sudah 11 tahun menjalani profesi sebagai praktisi komunikasi setelah 15 tahun sebelumnya sepenuhnya menjadi wartawan, prihatin dengan inflasi informasi saat ini. Dunia digital memang menawarkan kecepatan, tetapi bukan akurasi dan kredibilitas informasi. Sayangnya banyak media mainstream (baik cetak, online, maupun elektronik) yang alih-alih mempertahankan ruh jurnalistik, sebaliknya ikut arus sosial media. Yang viral di sosial media (terlepas kualitas kontennya) seringkali menjadi berita di media utama. Bagi pers, ini adalah kemunduran.

Saya termasuk yang optimistis Harian DI’s Way akan berkembang. Bukan semata karena Pak Dahlan Iskan. Tetapi juga karena tim Redaksi yang notabene adalah para alumnus Jawa Pos tampak all out dan penuh semangat. Kerja keras ala Jawa Pos tampaknya mewarnai etos kerja Tim Redaksi DI’s Way. Tim pemasarnya, mungkin baru di dunia media, tetapi mereka adalah anak-anak muda yang cepat belajar dan selalu optimistis mendapatkan pasar.

Saran lain, Harian DI’s Way harus segera disinergikan dengan platform digital. Sehingga berjalan beriringan, harian cetaknya dengan harian digital. Dan sepertinya para ahli digital technology juga sudah ada di DI’s Way. Saya sendiri sebagai salah satu dari enam orang Redaktur Tamu hanya bisa memberikan sumbangsih yang terbatas melalui catatan-catatan singkat setiap pekan yang dimuat di Harian DI’s Way. Semoga bisa mewarnai karena sama dengan Pak Dahlan Iskan, semangat kami sama: tidak ikhlas jika publik tersesat terlalu jauh dalam mendapatkan informasi sehingga perlu bekerja bersama mengembalikan ruh jurnalistik pada tempatnya. Dan ini ada di Harian DI’s Way. (tofan.mahdi@gmail.com)

Jakarta, 16 Juli 2020

*) Penulis adalah Guest Editor Harian DI’s Way