Menebak Harian DI’s Way

Oleh: Joko Intarto

Tulisan ini mestinya saya terbitkan seminggu lalu. Setelah saya menjadi pembicara dalam diskusi online Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI). Tapi, entah kenapa, saya lupa.

Artikel ini lalu terselip di antara file-file naskah lainnya. Kebetulan hari itu saya sedang meriset beberapa artikel tentang inovasi teknologi.

Beruntung naskah ini bukan berita. Alangkah lucunya kalau reportase baru terbit seminggu kemudian. Kalah dong dengan Harian DI’s Way, yang bukan koran tapi terbit setiap hari di Surabaya itu.

Dalam diskusi itu, saya mendapat tugas memaparkan tema strategi bisnis media online di era digital. Topik ini sungguh berat bagi saya. Sebab, saya bukanlah pakar marketing maupun pakar manajemen yang tiap hari menjadi bintang seminar.

Saya hanya pengusaha gurem. Kelas UMKM. Kebetulan saja berbisnis di industri media digital. Tetapi bidang usaha saya sangat spesifik: Membuat konten video, jasa siaran langsung dan video conference. Sesekali masih menulis dan mengedit buku. Sebagai hobi.

Tapi saya sudah kadung janji dengan panitia. Siap menjadi pembicara dengan tema apa saja. Ya sudah. Anggap saja nasib saya sedang apes. Diberi tema yang sulitnya minta ampun. Tiba-tiba saya harus bicara seperti Renald Khasali atau Hermawan Kartadjaja. Mana bisa?

Agar kelihatan keren, saya pilih bercerita sebagai ”wartawan tiga zaman”. Yakni, wartawan zaman media berita offline, wartawan zaman media berita online dan wartawan zaman media berita warga.

Dua zaman terakhir ini sebenarnya sama-sama online-nya. Tetapi dua-duanya sungguh berbeda. Pada era media berita online, pembuat berita adalah wartawan beneran. Medianya saja yang online. Sedangkan era media berita warga, wartawannya adalah masyarakat. Medianya beragam: website, blog dan media sosial.

Cerita saya mulai dari kisah tutupnya sebuah media cetak besar di Amerika Serikat pada awal 2019. Koran harian beroplah 1 juta eksemplar itu terpaksa menutup edisi cetaknya setelah terbit gratis selama 16 tahun.

Mengapa koran itu tutup? Rumus bisnis di mana-mana saja saja: Biayanya tidak sebanding dengan hasilnya. Sebagai koran gratis, pendapatan perusahaan hanya dari iklan. Sementara biayanya sangat banyak, mulai biaya redaksi, percetakan hingga distribusi.

Walau pemilik perusahaan koran itu tercatat sebagai salah satu orang terkaya di dunia, bisnis tetaplah bisnis. Rumus bisnis tidak berubah karena tingkat kekayaan pemiliknya.

Di Indonesia, jumlah media cetak yang mati pun tak kalah banyaknya. Sebagian di antaranya juga diterbitkan para konglomerat. Rupanya rumusnya sama: lembaga bisnis tidak sama dengan lembaga sosial.

Setelah koran-koran itu tidak terbit, beberapa wartawannya mencoba peruntungan baru: menerbitkan portal berita sendiri. Saya kenal beberapa di antara mereka, adalah kawan-kawan saya yang memiliki reputasi hebat. Sebagai wartawan. Saya pun ikut-ikutan mendirikan UCS TV, media online berkonten video. Seratus persen seperti stasiun televisi.

Ternyata sebagian besar media online itu tidak berumur panjang. Termasuk UCS TV yang saya gagas. Modal pengalaman sebagai wartawan saja ternyata tidak cukup. Mengelola media online tidak sesederhana yang saya bayangkan.

Meningkatnya jumlah pengguna media sosial juga menjadi faktor lain yang tak kalah penting. Media ini bisa diakses gratis. Modalnya hanya punya email. Yang juga gratis.

Dari pengalaman gagal itulah saya mendapat pelajaran penting: Jangan lagi membuat media baru. Karena jumlah media sudah begitu banyak. Gratis pula.

Bikin saja konten untuk siapa saja yang ingin punya media. Jasa produksi konten inilah yang ada duitnya.

Apa pun medianya tidak perlu pusing. Berbayar atau gratisan tidak perlu dipersoalkan. Biarlah pemilik media yang memikirkan sendiri bagaimana cara menghidupkan medianya.

Itulah rumus bisnis yang melahirkan Jagaters sebagai perusahaan jasa produksi konten. Saya tidak lagi tergoda untuk membuat media seperti dulu. Walau ada beberapa orang menawari. Kapok!

Tiba-tiba Sabtu malam lalu, saya mengikuti acara webinar Pak Tung Desem Waringin. Talkshow itu menghadirkan Pak Dahlan Iskan sebagai narasumber tunggal.

Dalam diskusi itu, Pak Dahlan menyampaikan gagasannya untuk menjadikan Harian DI’s Way yang sekarang terbit cetak menjadi media online dalam beberapa bulan mendatang. Tetapi media online itu tidak akan menjadi konten Google. Konten DI’s Way akan didistribusikan kepada pelanggan dengan cara yang khusus.

Saya pun membayangkan modelnya. Mungkin seperti New York Times (NYT). Tapi mungkin juga lebih modern. Entah seperti apa. Baiknya kita tunggu. ”Paling cepat 3 bulan lagi,” kata Pak Dahlan.