Gus Zaki

Oleh : Gus Ulil Abshar Abdalla

Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun

Saya amat sedih mendengar kabar wafatnya seorang alim muda dari Tebuireng, cucu Mbah Hasyim Asy’ari — Gus Muhammad Zaki Hadziq, atau sering dipanggil Gus Zaki. Beliau wafat kemaren, Rabu (1/7).

Saya tidak begitu sering “srawung” dengan Gus Zaki, tetapi saya lebih dekat dengan, dan mengenal kakaknya yang juga meninggal dalam usia muda — Gus Ishom Hadziq. Di Tebuireng, dulu, Gus Ishom digadang-gadang sebagai “titisan” dan pengganti Gus Dur karena kecerdasan dan keluasan bacaannya (dia bahkan membaca dengan sangat baik buku-buku filsuf dan pemikir Mesir, Hassan Hanafi, pemikir yang juga dikagumi oleh Gus Dur). Enam bulan sebelum Gus Ishom wafat, saya bertemu beliau dalam sebuah acara di pesantren Tegalrejo, Magelang — pesantren di mana Gus Dur dulu pernah mondok sebelum pindah ke Yogya.

Terakhir, saya bertemu dengan Gus Zaki pada 2018, dalam acara Kopdar Ihya’ di Unusa (Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya). Beliau hadir di sana sebagai pembahas. Saya sangat terkesan dengan pembawaannya yang amat rendah hati, mengingatkan saya pada Gus Ishom dulu.

Gus Zaki pergi terlalu cepat dan dalam usia yang masih muda. Bagi warga pesantren, para pecinta Kitab Kuning, dan warga nahdliyyin secara umum, ini jelas kehilangan yang amat besar.

Selamat jalan, Gus. Selamat bergabung dengan rombongan para “kinasih Allah”: Mbah Hasyim, Kiai Wahid, Gus Dur.

—–

Gambar: Kenangan pertemuan saya yang terakhir dengan Gus Zaki dalam acara Kopdar Ihya’ di Surabaya.