RAPID TEST CORONA, SIAPA YANG DIUNTUNGKAN?-

Oleh :–mabroerms (aktifis nahdliyin)

Rapid test, itulah sebutan yang sangat populer di masa Panemi Covid-19 ini. Uji klinis tersebut merupakan tahap awal untuk mengetahui apakah seseorang itu reaktif alias positif kena virus atau non reaktif alias tak kena virus. Dengan kata lain, rapid test bukan penentu utama status kesehatan seseorang, apakah positif terjangkit virus Corona atau nggak. Jadi, jangkauan Rapid Test tidak sampai “menyentuh” virus Corona. Bahkan, kini uji klinis tersebut telah menimbulkan kesan sebagai “komoditas” baru yang harus dibeli para calon penumpang (Kereta Api, Kapal Laut, Pesawat Terbang) dengan tarif mulai Rp 300 ribuan hingga Rp 2 jutaan. Bahkan tak sedikit para santri-wati yang mau balik ke Pesantren juga harus ikut Rapid test, padahal jumlah mereka juga sangat banyak.

Bagi mereka yang berkecukupan, tahapan uji klinis ini –mungkin- tidak terlalu membebani, tapi ceritanya justru bisa berbalik 180 derajat bagi mereka yang hidup pas-pasan, tapi mengharuskan mereka bepergian jarah jauh. Apalagi Rapid Test ini juga hanya berlaku sekitar 3-4 hari saja. Artinya, jika Anda naik kereta ke Surabaya tanggal 1 Juli, kemudian balik ke Jakarta tanggal 7 Juli maka akan diwajibkan Rapid Test dua kali yakni sewaktu berangkat ke Surabaya dan balik ke Jakarta. Jika dalam sekali periksa Rapid Test, misalnya Rp 300 ribu, maka PP (pulang-pergi) akan dikenakan Rp 600.000;. Tentu angka itu belum termasuk harga tiket, demikian seterusnya.

Padahal, jumlah penumpang kereta rata-rata kisaran 23,4 juta hingga 25 juta orang x beaya Rapid Test. Juga penumpang pesawat yang mencapai 7 ribu hingga 8 ribu orang perhari dengan beaya Rapid Test kisaran 500 ribu hingga 2 juta. Belum lagi jumlah penumpang kapal laut yang mencapai 1,99 juta orang kali beaya Rapid Test. Jika dilihat sekilas secara perseorangan, beaya Rapid Test masih dianggap wajar, tapi jika semua penumpang serta para pihak seperti para santri yang harus mengikuti Rapid Test, maka jumlah pemasukan dari test kesehatan ini bisa bermiliar-miliar.

Bagi para penumpang kereta, kapal laut dan pesawat terbang persyaratan Rapid Test ini cukup merepotkan sekaligus memberatkan. Selain beban kemahalan harga tiket di masa Pandemi, juga beaya Rapid Test yang wajib mereka bayar. Itulah persyaratan yang harus dipenuhi setiap penumpang sesuai Surat Edaran (SE) dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 No 7 tahun 2020. Dari kegundahan para penumpang inilah, SE tersebut dianggap sangat diskriminatif karena SE tersebut tidak berlaku bagi penumpang mobil pribadi, bus antar provinsi maupun sopir truk. Atas dasar itulah, seorang warga bernama Muhammad Sholeh menggugat legalitas SE tersebut ke Mahkamah Agung, 26 Juni lalu.

Gugatan itu, selain didasari rasa ketidak adilan juga munculnya dugaan akumulasi keuntungan yang didapatkan dari para penyelenggara Rapid Test seperti Rumah Sakit atau yang lain. Padahal, Rapdi Test tersebut tidak bisa memastikan status klinis seseorang, apakah positif kena virus Corona atau nggak. Kemudian, pertanyaannya untuk apa gunanya Rapid Test, jika tidak bisa memberikan kepastian medis? Coba bayangkan, seandainya beaya Rapid Test untuk penumpang pesawat itu Rp 500 ribu misalnya, kemudian dikalikan 7000 orang ( 500.000 x 7000) maka beaya Rapid yang terkumpul mencapai Rp 3,5 miliar/hari. Itu hanya sekedar simulasi, jika dihitung secara riil dari ketiga jalur angkutan (kereta, pesawat & kapal laut), sudah pasti angkanya cukup mencengangkan.

Meski terasa memberatkan, namun beban itu tetap harus mereka terima karena tak banyak pilihan. Oleh karena itu kita berharap agar proses gugatan itu bisa berjalan cepat sehingga rasa ketidakadilan rakyat bisa dipenuhi, meski tak sepenuhnya memuaskan dahaga. Apalagi Presiden Jokowi juga sudah memperlihatkan kemarahan yang memuncak karena kinerja pemerintah masih dibawah standar, padahal situasinya sudah sangat darurat.

Itu baru soal efektifitas Rapid Test dan beban pembeayaan yang harus dipikul masyarakat. Belum lagi soal rumor tentang peralatan Rapid Test yang sampai kini masih jadi misteri karena tak pernah ada investigasi dan kajian mendalam dari pemerintah. Sebetulnya, awal April lalu Menteri BUMN Erick Tohir sudah mengingatkan bahwa ada aroma mafioso di sektor farmasi dan alat kesehatan (alkes), namun genderang Mentri hanya berhenti di tengah jalan karena tak ada tindak lanjut. Sebaliknya, justru pihak swasta yang tertantang melakukan investifasi yakni OCCRP (Organized Crime and Corruption Reporting Project) bersama majalah Tempo melakukan investasi atas sinyal dari Erick Tohir. Hasilnya? Sungguh mengejutkan karena warning Mentri BUMN itu benar adanya mafioso tersebut.

Dari kasus seperti inilah, kita makin pesimis bahwa korupsi di Indonesia itu bisa diminimalisir semaksimal mungkin karena para syahwat korupsi benar-benar melampau virus Corona. Bahkan Menteri BUMN sendiri juga dibuat tak berdaya menghadapi BUMN farmasi yang disebut-sebut menjadi bagian dari aksi ‘pat gulipat’ tersebut. Ini belum termasuk sektor lain dan sudah berulangkali disentil oleh Presiden Jokowi agar tak main-main dengan anggaran untuk penanganan Pandemi Covid-19. Oleh karena itu, untuk memberantas korupsi rasanya tidak cukup hanya dengan instruksi dan kemarahan karena keduanya tak memberikan efek jera sama sekali. Diperlukan strong man yang sudah ‘selesai dengan dirinya sendiri’ untuk menjadi panglima perang melawan korupsi dengan model amputasi maupun lustrasi. ###