Ngombalin “Mahluk Politik” Bernama Partai……

Oleh Hadi Win.

Ngobrolin “party as political creature” kayaknya menarik selepas Pilkada Serentak 2018 yang berlangsung demokratis, lancar, aman dan damai. Sebagai “makhluk politik”, partai tak terhindarkan lagi akan makin menjadi institusi penting yang menentukan merah-hitamnya demokrasi kita. Tetapi apakah pada saat yang sama publik kita memiliki pengetahuan yang lengkap tentang makhluk politik bernama partai ini?

Pertanyaan macam ini penting buat masyarakat yang berada di tahapan emerging democracies. Bahkan, teramat penting lagi buat masyarakat kita saat ini, yang kerap tercatat memiliki “tingkat afiliasi yang rendah” terhadap partai politik. Ikatan para pemilih terhadap sesuatu partai dalam masyarakat kita, sebagaimana diteliti sejumlah lembaga, termasuk cukup rendah.

Bahkan, Asia Foundation pada tahun 2003 dalam laporan penelitian yang mereka buat menyatakan, hanya sekitar 30 persen dari para pemilih di Indonesia yang menyatakan memiliki ikatan dengan partai politik tertentu. Dengan begitu, bisa dibayangkan betapa cairnya ikatan mayoritas pemilih di Indonesia dengan partai politik. Konsekuensinya, terdapat peluang cukup besar para pemilih “berpindah ke lain partai” pada tiap pemilu pada demokrasi pasca-1998.

Sebagai “makhluk politik”, partai-partai itu institusi macam apaan sih? Bagaimana partai bekerja dan fungsi apa yang dijalankannya?

Max Weber dalam “Economy and Society” menjelaskan bahwa ada relasi yang kuat antara class, status, and party. Jika kelompok kelas berada dalam domain tatanan ekonomi (economic order), kelompok status ada dalam tatanan sosial (social order), partai politik muncul dan berada di ruang kekuasaan (sphere of power).

Anthony Giddens dalam “Class Power and Conflict, Classical and Contemporary Debates” mengatakan partai juga berhubungan dengan situasi kelas (class situation) dan tindakan yang dihasilkan oleh kepentingan kelas (class interest). Situasi kelas adalah bagaimana perilaku massa memiliki cara bereaksi yang mirip, sedangkan kepentingan kelas mengacu pada dorongan untuk menguasai sumberdaya politik dan ekonomi.

Schwartz dan Lawson dalam “Handbook of Political Sociology” menjelaskan basis sosial partai politik secara umum dikaitkan dengan sejarah berdirinya partai, gerakan sosial yang mempengaruhi kelahiran partai, ideologi partai, juga hubungan yang terbangun antara partai dengan aspirasi yang hidup di kalangan warganegara, serta ikatan dengan kelompok-kelompok kepentingan.

Dalam konteks Indonesia pasca reformasi 1998, basis sosial partai memiliki kaitan dengan gerakan sosial dan peranan civil society selama proses transisi demokrasi dari rejim otoriter Orde Baru ke era demokrasi. Selain itu, peranan para tokoh pendiri partai, dukungan organisasi sosial kemasyarakatan atau organisasi sosial keagamaan dalam pendirian partai, dukungan aneka kelompok kepentingan dalam masyarakat, juga dikaitkan dengan pengelompokan basis suara pemilih baik yang bersifat keagamaan (religious cleavage) maupun politik (political cleavage), memiliki keterkaitan nyata dengan pembentukan basis sosial partai.

Larry Diamond dan Richard Gunther menjelaskan ada tujuh fungsi partai politik pada semua jenis masyarakat dengan sistem sosial yang berbeda-beda. Pertama, melakukan rekrutmen dan mengajukan para calon menduduki jabatan publik. Kedua, memobilisasi dukungan terhadap para kandidat lewat pemilu dan mendorong adanya partsipasi pemilih. Ketiga, partai-partai merancang berbagai pilihan isu untuk para kandidiat yang bersaing. Keempat, partai merepresentasikan aneka kelompok sosial, baik yang bersifat simbolis maupun yang mengejar kepentingan-kepentingan khusus. Kelima, partai mengusung kepentingan-kepentingan khusus dan memperjuangkannya melalui pemilu dan koalisi dalam pemilu dan pemerintahan. Keenam, partai membentuk dan mempertahankan pemerintahan. Ketujuh, partai merangkul warganegara ke dalam proses-proses politik dan kenegaraan.

Selanjutnya, partai fungsionalis dibangun untuk mengejar tujuan khusus. Simon Neuman menjelaskan tiga tipe partai semacam itu, antara lain partai yang mengejar perwakilan individual (dengan tujuan memperjuangkan kepentingan kelompok-kelompok tertentu), partai untuk tujuan integrasi sosial (berisi organisasi-organisasi dengan aneka tugas pelayanan dan memperjuangkan kepentingan aneka organisasi itu), dan partai integrasi total (bertujuan mentransformasi masyarakat secara penuh dan memaksakan ketaatan massa dalam melakukannya).

Herbert Kitschelt mengajukan konsep tentang partai berbasis elektoral yang bekerja dengan mengandalkan logika konstituen, dan Richard Katz dan Peter Mair mengenalkan konsep Partai Kartel (Cartel Party).

Kelompok lain mengembangkan konsep partai organisasional, dimana sebuah organisasi bisa bergabung dengan organisasi lain yang lebih besar dan memperjuangkan kepentingan mereka lewat partai. Sisanya adalah konsep Partai Kader sebagaimana diungkapkan Maurice Duverger, dan konsep ini dibedakan dengan Partai Kader model Lenin.

Terakhir, beberapa sarjana mengenalkan empat model partai seperti partai burjuis untuk perwakilan individual, partai kelas-massa, partai massa jemaat, dan partai untuk semua (catch-all party).

Pada akhirnya, Diamond dan Gunther mengemukakan secara tipologis partai-partai politik terbagi menjadi Partai Elit, Partai Klientalistik, Partai Berbasis Massa, Partai Leninis, Partai Nasionalis Pluralis, Partai Ultranasionalis, Partai Fundamentalis Keagamaan, Partai Berbasis Etnis, Partai Kongres, Partai Elektoralis, Partai Berbasis Gerakan.

Maurice Duverger mengaitkan institusi politik dengan sistem nilai tertentu, dimana dengan sistem nilai itu bisa digunakan untuk membedakan pandangan baik-buruk, salah-benar, atau dalam posisi sejalan atau berhadap-hadapan. Tingkat penerimaan atas pandangan yang dikotomis itu bisa berbeda pada aneka institusi, tetapi pada institusi politik sistem kepercayaan masyarakat justeru mendapatkan bentuk dan ikatan tertingginya. Karena itu, menurut Duverger pemberian suara kepada partai politik oleh para pemilih berkorelasi dengan pemberian dukungan, konsensus dan legitimasi terhadap sistem nilai yang paling penting dan paling diterima dalam masyarakat, yang diusung partai politik.