Rekam Jejak KH. Badrus Sholeh di Era Kolonial Belanda

 

Dalam buku-buku sejarah resmi, apalagi yang diajarkan kepada anak sekolah, nama barisan kyai tidak pernah muncul. Sebutan ini pertama kali dimunculkan oleh seorang santri Kyai Wahab, yang juga aktif dalam pergerakan nasional, KH Saifuddin Zuhri.

Salah satu kekhasan dari Hizbullah dan dijadikan bagian dari keempat program yang disusun oleh Markas Tertinggi Hizbullah adalah mengenai pemusatan tenaga alim ulama dan kyai sakti.

Pondok Pesantren Al-Hikmah Purwoasri misalnya, menjadi salah satu pusat penggemblengan. Sampai saat ini ciri khas itu masih ada. Maka setiap Senin malam Selasa dan Kamis malam Jumat kegiatan ngaji diliburkan. Ini yang tidak dijumpai di pondok pesantren yang lain, yang biasanya hanya meliburkan kegiatan ngajinya hanya pada malam Jumat.

Pengisian kekebalan oleh kyai pada masa ini cukup beragam. Misalnya Mbah Ma’roef meng-asma’ para laskar dengan doa “Allahumma salimna minal bom wal bundug, wal bedil wal martil, wa uddada hayatina”. Doa yang unik tapi manjur, bahkan para laskar jadi kebal.

Mbah Subchi Parakan meng-asma’ senjata para laskar dengan doa “Bismillahi bi ‘aunillah. Ya Hafidz ya Hafidz, ya Hafidz. Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar.

Mbah Badrus sudah sangat kondang dengan asma’ jalin-nya serta beberapa wirid-wirid yang diijazahkan. Di sini saya tidak berani mem-foto jalin dan wiridnya. Alasannya sederhana, karena saya belum bisa bikin watermark.. hoho.. dan alasan lain, mungkin tidak semua penerusnya setuju, meski sudah milik pribadi.

Jadi, banyak sekali pesantren di Indonesia yang menjadi benteng pertahanan terakhir para pejuang saat semua kota dikuasai kolonial Belanda.

Salah satu tangsi/markas Belanda yang kemudian hari menjadi pesantren adalah PP. Al-Hikmah Purwoasri Kediri. Konon dulu dibeli oleh Kyai Badrus dengan harga kurang lebih seratus ribu rupiah waktu itu. Ada kisah menarik dibagian ini. Dengan bandrol harga seratus ribu waktu itu, Kyai Badrus tidak punya uang yang cukup untuk membeli tanah. Modal beliau hanya berdoa dan akhirnya ada tamu tidak dikenal mengucapkan salam dengan suara lantang. Waktu ditemui ternyata tidak ada orang, yang ada hanya koper yang penuh dengan uang. [Lokasi Kyai Badrus berdoa ada difoto bagian pertama]

Bahkan pasca kemerdekaan masih ada orang Belanda yang mendatangi tempat itu dengan alasan ‘kangen’, karena ia dilahirkan disitu. Nah sekarang? Nggak tau dan nggak pernah ada.

Perjuangan Kyai Badrus melawan Belanda tidak sendiri. Beliau juga berkordinasi dan bersinergi dengan Kyai Mahrus Aly Lirboyo, Kyai Fattah Tambak Beras, Kyai Munawir Tegalarum dan kakaknya yang bernama Kyai Abdul Fattah Djalalain Nglawak.

Ayah Kyai Badrus Sholeh bernama Kyai Arief asal Desa Banyakan, Kecamatan Grogol, Kabupaten Kediri. Sedangkan Ibunya bernama Nyai Sukarsih /Sriatun putri Kyai Hasan Muhyi pendiri pesantren Kapurejo sekaligus yang babat desa tersebut.

Menurut beberapa sumber terpercaya dan manuskrip tulisan tangan Kyai Abdul Fattah, Kyai Arief adalah cucu dari Pangeran Diponegoro. Ini karena Kyai Arief adalah putra Kyai Hasan Alwi, seorang ulama yang babat desa Banyakan sekaligus putra dari Pangeran Diponegoro dari istri selir.

Disebut selir sebab tidak memiliki darah biru kerajaan. Hanya sebatas putri kyai dan tokoh desa setempat. Manuskrip bukti kyai Hasan Alwi merupakan putra Diponegoro telah dilegalisasi dan ditandatangi langsung oleh KH. Hasyim Asy’ari, Rois Akbar NU, sekaligus Ketua Umum MIAI dan masih tesimpan di Pondok Pesantren Miftahul Ula Nglawak Kertosono.

Memiliki keterikatan dengan Diponegoro inilah yang kemudian membentuk spirit jejaring perjuangan dan mata rantai guru-murid, kyai-santri. Pasukan Pangeran Diponegoro selain terdapat para bangsawan juga dipenuhi kyai-santri dari berbagai penjuru jawa.

Justru para kyai-santrilah yang meneruskan semangat juang ketika Pangeran Diponegoro ditangkap. Sempat beliau membisikkan pesan terakhir sebelum ditangkap kepada Kyai Badaruddin untuk menanam pohon sawo. Pesan itu segera disampaikan pada kyai yang lain seperti Kyai Basah Mintaraga, Kyai Hasan Besari, dan Kyai Maderan.

Jadi kalau kita singgah ke desa Banyakan-Grogol tempat kelahiran Kyai Badrus, akan kita temui pohon sawo sebagai simbol ikatan kekeluargaan Diponegoro. Pohon sawo yang ditanam bermacam-macam ada sawo kecik yang buahnya kecil kemerahan. Ada juga sawo manila yang buahnya besar berwarna coklat muda.

Beberapa pengikut Pangeran Diponegoro yang kemudian mewarisi spirit perjuangan dan menjadi pionir terbentuknya kembali jaringan Ulama Nusantara itu antara lain Kyai Abdus Salam Jombang, Kyai Umar Semarang, Kyai Abdurrauf Magelang, Kyai Yusuf Purwakarta, Kyai Muta’ad Cirebon, Kyai Hasan Basyari Tegalsari Ponorogo dan Kyai Abdul Manan Pacitan.

Selanjutnya muncullah Kyai Sholeh Darat yang meneruskan perjuangan ayahnya Kyai Umar Semarang, Syekh Nawawi Banten yang meneruskan perjuangan Syekh Yusuf al-Makassari, Syekh Mahfudz Termas cucu Kyai Abdul Manan yang meneruskan perjuangan Kyai Hasan Besari, Kyai Abdul Jamil dan Kyai Abbas Buntet yang meneruskan perjuangan Kyai Muta’ad dan Syekh Hasyim Asy’ari serta Kyai Wahab Hasbullah Keturunan Kyai Abdus Salam Jombang.

Jadi tidak terlalu sulit bagi Kyai Hasyim dan kawan-kawan untuk mengkoordinasi dan memobilisasi barisan ulama itu. Sebab, para ulama sepuh walaupun kelihatannya diam, tetapi tetap siaga di posisi masing-masing.

Menggerakkan pasukan Hizbullah yang dipimpin oleh KH. Zainul Arifin dan Sabilillah yang dipimpin KH. Maskur sejatinya merapatkan kembali jejaring spirit juang Diponegoro dengan sandi pohon sawo. Kenapa pohon sawo yang dipilih? Kerena itu merupakan singkatan dari bahasa arab “showwu sufufakum, fainna taswiyatashufufi min tamamil harokah”.

Totok Budiantoro

Koresponden MM.com.