Mengenal Masjid Kuno Pakuncen Kertosono Nganjuk

Masjid Kuno dibangun oleh Ki Nur Jalipah pada pertengahan abad ke 17. Masjid kuno ini semula tiang dan atapnya dari kayu. Atas prakarsa Menteri Penerangan Harmoko direnovasi. Atapnya diganti genting ditambah serambi. Masjid kuno ini sekarang lebih dikenal dengan Baitur Rohman.
Di belakang masjid terdapat kompleks makam. Di sebelah utara terdapat bangunan bercungkup yang tertutup rapat yang di dalamnya terdapat 22 makam. Di antaranya terdapat 4 makam yang ditutup kelambu putih. Menurut data yang tertulis di situ terdapat makam RA. Tumenggung Purwodiningrat, isteri Tumenggung Posono I, RA. Tumenggung Sosrodiningrat, isteri Tumenggung Posono II, R. Soerjati (Kusumaningrat), dan RA. Kusiyah (Karto- diningrat).
Di luar cungkup terdapat makam para bangsawan tinggi lainnya, antara lain RT. Koesoemaningrat, mantan Bupati Ngawi, R. Mangunredjo, Patih Kuto Lawas dan Notosari Patih Magetan. Di sebelah barat cungkup utama terdapat makam Ki Nur Jalipah. Sedangkan di luar kompleks cungkup terdapat ratusan makam penduduk desa Pakuncen dan sekitarnya.

Asal Mula Pakuncen
Tahun 1651, Ki Nur Jalipah bersama 2 orang saudaranya membuka lahan untuk pemukiman seluas 10 Ha. Nur Jalipah adalah seorang petani yang ulet dan mempunyai ilmu agama Islam dan ilmu kekebalan yang tinggi. Layaknya pemeluk agama Islam yang taat dan mampu, didirikanlah masjid di tempat yang baru dibuka itu.

Masjid ini kemudian dipergunakan untuk kegiatan agama Islam. Murid-muridnya banyak dari daerah lain, sehingga desa baru ini semakin ramai. Selanjutnya desa baru itu berubah menjadi pusat Pondok Pesantren. Se menjak itu desa ini mendapat julukan Desa Kauman.
Tahun 1700 M, datanglah orang utusan dari Mataram (Ngayogyokarto) dipimpin RT Purwodiningrat yang ditugasi oleh Paku Buwana untuk mendirikan kota kepatihan yang letaknya di tepi Sungai Brantas. R.T. Purwodiningrat kemudian mengadakan pendekatan serta berunding dengan Nur Jalipah. Dicapai kata sepakat dan r dukungan dari para santri. Berdirilah Kota kepatihan baru yang diberi nama Kadipaten Posono dan patih pertamanya RT. Purwodiningrat.
Atas jasa-jasanya mendukung berdirinya Kadipaten Posono serta melihat kebijaksanaan dan kepandaiannya, Nur Jalipah diangkat menjadi Talang Pati (Senopati) merangkap Demang. Saat permaisuri patih RT Purwo-diningrat wafat, timbul masalah di mana jenazahnya di- makamkan sebab permaisuri kerabat dekat keraton Ma- taram (Ngayogyokarto). Akhirnya Paku Buwana I setuju dikebumikan di Bumi Nur Jalipah.

Tak ada catatan berapa lama RT Purwodiningrat menjabat Tumenggung di Posono. Namun setelah isterinya wafat dia dipanggil ke Mataram (Ngayogyokarto), dan kemudian menjadi Tumenggung di Magetan.
Karena Tanah Nur Jalipah digunakan untuk makam keluarga Paku Buwana I, atas petunjuk Paku Buwana I diadakan perjanjian antara Ngayogyokarto dengan Nur Jalipah.

Isinya; Tanah Nur Jalipah seluas ± 10 Ha dibebaskan dari pembayaran pajak (Desa Perdikan). Nur Jalipah diangkat menjadi Juru Kunci makam keluarga 1 RT Purwodiningrat secara turun temurun. Nama Dusun Kauman pun diganti dengan Pakuncen.
Satu Orang
Nur Jalipah mengambil kebijaksanaan, Pakuncen hanya boleh dihuni keluarga. Bahkan keluarga pun bila tidak mematuhi peraturan, diusir dari bumi Pakuncen. Peraturan ini dibudayakan dan menjadi adat sampai saat ini.

Pesarehan dibagi menjadi dua pintu gerbang: Makam keluarga Nur Jalipah dan makam keluarga RT Purwo-diningrat. Warga desa lain seperti masyarakat Rowomarto boleh dikebumikan di Pakuncen. Sudah ada perjanjian antara Nur Jalipah dengan rakyat Rowomarto dengan ditukar bumi.

Kedudukan Tumenggung Posono kemudian digantikan RM Sosrodiningrat yang juga keturunan darah Mataram. Isterinya juga dimakamkan di Pakuncen. Sejak itu Kadipaten Posono perkembangannya tidak jelas, kemudian Ibukota Kadipaten dipindah ke selatan (Kertosono sekarang). Tumenggungnya R. Wiryonegoro, merupakan pejabat Tumenggung yang terakhir di Kertosono, dan ketika beliau wafat dimakamkan di Besuk, Patianrowo, dekat Pabrik Gula Lestari.

Totok Budiantoro

Koresponden MM.com.