Puasa dan Komunikasi Transendental

Oleh:
Gembong Aji R Achmad, S.H.

Al-Quran memberikan pembelajarn kepada kita mengenai komunikasi ini satu di antara dalam bentuk doa. Surah Nuh Ayat : 5-6 di bawah ini, dalam khazanah ilmu komunikasi transendental, yang berkaitan komunikasi antara manusia dengan Tuhan. Nuh AS berkata “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menyeru kaumku malam dan siang tetapi seruanku itu tidak menambahkan mereka kecuali lari (daripada keimanan)”. Ini terlihat bagaimana Nabi Nuh berkomunikasi kepada Allah SWT secara transendental. Ayat selanjutnya, Nuh berkata “Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka itu derhaka kepadaku, dan mereka mengikuti orang yang harta dan anaknya tiada menambah kepadanya melainkan kerugian belaka. (Surah Nuh ayat: 21).
Kaitan dengan komunikasi transendental pada bulan Ramadan, sejauh manakah Ramadan dapat menjadi saluran yang menciptakan komunikasi berkesan antara manusia dengan Rabbnya? Masyarakat kita ini, kedatangan bulan Ramadan memperlihatkan semangat yang berbeda dengan bulan lain. Tetapi semangat itu terutama apabila kecenderungan banyak ditumpukan kepada aspek dhahiriyah, kebendaan dari pada aspek kerohanian dan dalamannya. Semangat ini mengalihkan perhatian dan fikiran kita dari maksud sebenarnya berpuasa. Fokus umat yang lebih berorientasi pada hiruk-pikuk pemenuhan hasrat kasat mata. Padahal Allah SWT menciptakan wajib berpuasa di bulan Ramadan ini justru sebuah solusi istimewa bagi umat, makhluk ciptaanNya yang selama setahun suntuk dengan segala kesibukanya telah melakukan banyak keteledoran. Ini sifat rahman, rahim Allah SWT yang dicurahkan kepada hamba ciptaanNya. Sungguh sayang, jika keistimewaan syahrun mubarak ini lewat begitu saja sebagimana bulan-bulan yang lain. Bahkan menunjukkan sikap lebih teledor lagi dengan sengaja tidak dimanfaatkan sebagaimana maksudnya diperintahkan wajib berpuasa.
Realitas menunjukkan begitu ramainya pasar, pasar dadakan dan mall. Kesibukan lahiriah ini juga diperhebatkan dengan persiapan dalam kehidupan keseharian seperti membeli pakaian baru, menyiapan kue hiasan meja bahkan lebih dari itu merenovasi rumah beserta isi perabotnya. Mobil baru, motor baru sebagai persiapan menyambut dengan sensasional akan hadirnya Idul Fitri. Pada bagian lain umat Islam selama sebulan ini justru penuh berlomba untuk urusan kebaikan bersedekah, menyediakn takjil mengeratkan silaturahim dengan tetangga, teman. Memang benar, segala perbuatan baik di bulan suci ini dilipatgandakan nilai pahalanya.
Fenomena ini jika kita teliti secara sederhana dapat dikatakan telah keluar dari inti dan hikmah berpuasa itu. Puasa ini seharusnya lebih dikuatkan sisi pemenuhan kebutuhan batiniah misalnya dengan sebebas-bebasnya mengoreksi diri sendiri, beriktikaf, memperbarui dan membersihkan jiwa dan bukannya pada penonjolan lahiriah semata. Iktikaf itu satu bentuk komunikasi transendetal antara makhluk dan Sang Khalik. Keluh-kesah, curhat apa saja terbuka bagi Allah taala. Setidaknya disediakan tiga keutamaan; berkah, rahmat dan maghfirah. Dan Allah sendiri yang menyeru dalam firmannya “mintalah kepadaku niscaya akan aku kabulkan”. Mengapa manusia masih belum yakin?

Pengacara dan Pengurus Peradi Banyuwangi.