Menyongsong New Normal dan Cyber Learning

Mochammad Rifai*

Pakar Pendidikan di Banyuwangi.

 

Kebijakan pemerintah untuk ‘merumahkan’ aktivitas kehidupan membawa banyak konsekuensi. Benar bahwa ‘The Death of Mobility” menggambarkan bagaimana pandemi Covid 19 telah mengubah kelaziman dalam tatanan normal kehidupan. Pergerakan manusia menjadi dibatasi dan diawasi. Pola hubungan sosial, pola kerja berubah. Banyak hal yang berubah menjadi ‘berkebalikan’ dalam tata nilai sosial yang dipermaklumkan bersama. Misalnya, harus mengambil jarak, berbicara mulut ditutup, tidak saling kunjung, tidak bersalaman, tidak ke tempat ibadah untuk berjamaah, dst. Kehidupan mengalami penyusutan dan peringkasan yang sangat masif. Sebuah konseksuensi yang harus dijalankan semua orang. Dan, semua itu tidak dengan serta-merta bisa dinormalkan kecuali dengan melaksanakan protokol kesehatan cegah Covid 19 yang sudah distandarkan oleh pemerintah.
Keadaan serba darurat itu, tak luput juga melanda dunia persekolahan. Pembelajaran konvensional klasikal a vis a vis antara guru dan siswa tereduksi begitu cepat, tanpa persiapan lagi. Rumah-rumah mendadak menjadi ruang kelas baru, self organized learning environment. Papan tulis dan alat tulis-menulis dioper alih alat cerdas buatan manusia; gadged, gawai, dan smart phone. Berbagai macam platform pembelanjaran online menjadi ‘mainan’ baru para guru dan juga siswa, termasuk orang tua siswa. Revolusi dunia pendidikan dipaksa berjalan tanpa rencana, tanpa persiapan. Siap atau tidak, opsi yang dipilih menyiapkan kelas maya (on line) dengan pembelajaran model daring. Sekolah-sekolah kota yang sudah ‘sego jangan’ dengan pemanfaat blended learning (bauran pembelajaran) yang ditopang oleh teknologi berbasis internet, pembelajaran sistem on line bukanlah tantangan baru. Namun tidak demikian dengan sekolah-sekolah pinggiran yang jauh dari budaya high-tech. Mereka tidak hanya gagap menerapkan aplikasi canggih itu, melainkan banyak alasan yang memaksa orang lain menerimanya dengan permisif “harap maklum adanya”.
Kita memasuki era cyber paedagogy yang diharapkan bisa membawa perubahan substantif pada layanan pembelajaran yang canggih dengan konten yang bermutu. Bermutu dalam arti yang tidak hanya ditunjukkan pada pemakaian kecanggihan cara (pilihan aplikasi dan sumber materi ajar) dan alatnya, tetapi kualitas conten-nya. Roh pendidikan tidak boleh berkurang karena model peralatan canggih yang terlibat.
Dalam masa kedaruratan pandemic ini, diakui layanan pembelajaran belum sepenuhnya terlaksana optimal. Kondisi normal saja masih banyak kelemahan di sana-sini dari sistem layanan pendidikan kita. Itulah pentingnya para praktisi pendidikan tanpa harus menunggu instruksi para petinggi di kementerian perlu merancang dan menyiapkan sedemikian rupa design pembelajaran berbasis daring. Yakin, sebagian guru-guru kita masih banyak yang perlu pencerahan (tutorial) bagaimana layanan interaksi proses belajar mengajar dengan sistem online. Bagaimana membangkitkan motivasi belajar siswa, bagimana menciptakan belajar mengajar berkolaborasi, dst. masih menjadi PR sebagian dari guru-guru kita. Sementara mayoritas dari siswa sudah begitu adaptif dengan teknologi maya. Kondisi yang tidak berimbang terjadi. Memangnya, anak-anak kita sudah ada depan gerbang era ind. 5.0 sementara sebagian guru-guru kita masih era Oemar Bakri. Jangan ‘ngajari bebek nglangi’ perihal teknologi dengan anak zaman now. Mereka yang punya zaman, sejatinya merekalah pula penduduk aslinya. Sementara kita, orang tua, oleh mereka dipandang sebagai new comer, pendatang baru. Inilah keabsolutan zaman.
Kira yang perlu dan mendesak me-reset ulang dalam kehidupan persekolahan dalam menyambut tahapan awal new normal, agar next normal berikut bisa berjalan lancar, adalah menyiapkan guru sebagai perancang penyelenggaraan pembelajaran. Tidak gampang melayani pembelajaran kelas online model daring itu, (saking judeknya, kelas online dan model daring disingkat dengan bahasa guyonan menjadi kelon dan modar). Kebijakanan penerapan new normal, jika tidak dibarengi dengan upaya meningkatkan kepiawaian guru dalam menjalankan layanan pembelajaran dengan konsep serba online ini, bisa dan sangat mungkin yang terjadi layanan pembelajaran tanpa ‘kelon’ dan menjadi modar benaran wakakakkkkk. Mungkin siswa dengan kemampuan adaptasi dan daya adopsinya berselancar via google search bisa ngatasi sekalipun tidak total lewat self learning. Lha, guru yang gagap berteknologi, dipaksa work home, anggap saja latihan pengsiun dengan gajian full. Lumayan! Kul hu ae Lik…!
Mochammad Rifai, Kepala SMA Negeri Glenmore, Sekolah berkolaborasi dengan Ponpes eMTe Krikilan Glenmore.