Caraku Menyimak Ihya’Dari Gus Ulil

Oleh : Tri Wibowo Budi Santoso

Saya menulis ini bukan dalam rangka mengikuti lomba, karena, seperti kata pakdhe Mung, tentu saya tidak akan menang, namun kalah juga tidak mungkin . 😀😀😀 Lagipula, kalau menang, saya malah diancam dikasih tugas oleh mbak Admien Ienas atas provokasi pakdhe Mung. Males batz akutu.

Ini sebagai, pertama, ungkapan terima kasih kepada mas Ulil dan, kedua, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT. Saya menulis dengan kesadaran penuh bahwa boleh jadi akan terselip unsur riya’ dan pamer, dua hal yang sangat menakutkan bagiku. Tetapi saya tetap menulis sambil memohon agar hati dilindungi dan sekiranya ini berguna maka saya memohon agar disampaikan kepada yang telah Dia takdirkan untuk memperoleh manfaat, dan jika tidak, maka agar dilupakan dari orang-orang yang tidak mendapatkan manfaat atau bahkan menimbulkan syakwasangka, karena yang mengetahui betul mana yang manfaat dan mana yang tidak bagi hamba-hamba-Nya hanyalah Dia semata.

Setiap orang punya panutan, idola, guru dan mungkin mursyid, termasuk diriku. Ada orang yang berguru dan diakui secara resmi sebagai murid atau santri, dan ada yang mengklaim sepihak bahwa dirinya adalah murid yang dibimbing seseorang, tanpa ikatan atau baiat resmi. Saya termasuk kedua-duanya.

Guruku, pembimbingku, yang sekarang, ketika mengajar, tak pernah memegang kitab apapun. Sebab beliau mengajarkan hal-hal yang ada di balik teks. Beliau mengajarkan olah rasa (dzauq), yakni mengenali bagian-bagian yang tersembunyi dalam diri, melalui muhasabah, muraqabah. Beliau mengjari saya mengenali apa itu rasa marah, kecewa, benci, cinta, rindu, birahi, dendam, dan seterusnya. Mengenali hal-hal yang selama ini dianggap taken for granted. Tetapi saya kerap mendengar beliau mengutip dari Imam al-Ghazali ketika membicarakan rasa, perasaan-perasaan, nafsu dan hal-hal di dalam hati ini, yang selalu dikaitkan dengan Tuhan sebab, secara teori, Dia-lah yang menganugerahkan rasa-rasa itu dalam diri kita. Tetapi caranya mengajarkan tidak lazim: beliau meminta saya “menghancurkan” ilmu, namun pada saat yang sama beliau menyuruh saya belajar segala ilmu yang bermanfaat kepada orang lain. Setiap pengetahuan yang kuperoleh mesti “dihancurkan” agar tampak sarinya – seperti mengekstrak sesuatu untuk memperoleh intinya. (Saya baru memahami hal ini ketika sowan kepada Simbah Kakung, ketika beliau mengatakan dengan ringkas dan mendalam tentang “ilmu yang melekat.”)

Pada sisi ilmu pengetahuan inilah beliau, mursyid saya, menyarankan, atau bahkan memerintahkan saya untuk belajar kepada siapa saja yang alim dan saleh. Bertahun-tahun saya dalam kebingungan – sempat menutup kitab beberapa tahun tanpa mau membaca, dan seingatku selama tujuh tahun saya lalu belajar lalu menghancurkannya, dan masih terus berlangsung sampai sekarang. Tetapi ketika saya menuruti perintah beliau, saya mulai memperoleh beberapa pemahaman. Dan itu butuh pengajaran dari orang-orang yang alim. Pada poin inilah saya beruntung sekali ketika dulu Mas Ulil menuliskan catatan-catatan renungannya atas kitab al-Hikam, dan mengadakan pengajian Ihya secara online. Karena itu, secara nekat, saya mengaku kepada diri saya sendiri bahwa saya muridnya Mas Ulil. Entah beliau mengakui atau tidak, ya embuh. Tetapi saya meyakin-yakinkan diri bahwa Mas Ulil tentu tidak keberatan, toh saya tidak mondok ke rumahnya yang tentu merepotkan beliau yang harus menyediakan ruang dan tempat ngopi dan merokok.

Karena saya bukan santri pondok, yang terbiasa melalar kitab dengan cara yang khas, saya membaca tulisan dan mendengarkan pengajian Mas Ulil dengan cara yang diajarkan mursyid saya. Saya belajar dengan menjalankan “rasa” dan “pikiran” ketika mendengar, sambil selalu melihat ke dalam diri saya, mengamat-amati apa saja yang terlintas di batin: apakah nafsu, emosi, berbagai perasaan, dan berbagai khatrat (lintasan-lintasan di dalam diri) yang datang. Ketika mas Ulil membicarakan “keruntuhan akhlak” misalnya, saya mendengar sekaligus berusaha “melihat” dan menelisik ke dalam diri saya, bagian mana pada “fakultas-fakultas batin” atau lathaif dalam diri yang bereaksi: mana yang menolak, mana yang menerima; mengapa menolak, mengapa menerima. Apakah timbul dorongan membantah? Jika iya, dari mana sumbernya? Apakah dari rasa sok tahu? Atau dari mana? Atau rasa apa saja yang muncul akan saya lihat, kenali dan pasrahkan kepada Ilahi. Maka sambil mendengarkan mas Ulil menjelaskan, saya melakukan muhasabah terus-menerus, karena apa-apa yang mas Ulil sampaikan bersesuaian dengan pelajaran dari guru tentang merawat hati, ngopeni ati. Mengapa saya begitu memperhatikan hal seperti itu? Karena Ihya adalah kitab suluk, ditulis oleh seorang Wali Allah yang telah sampai (wushul) dan memahami betul seluk-beluk batin manusia. Maka menurut saya, tidak ada jalan yang lebih cepat memahaminya selain dengan “menghantamkannya” kepada diri saya sendiri, agar saya tahu mana diri saya yang masih sangat bermasalah dalam akhlak kepada Tuhan, kepada manusia, dan akhlak kepada “diri” saya sendiri.

Kadang ketika mendengar sambil memeriksa diri, saya kehilangan fokus pada kata-kata mas Ulil, dan saya hanya memandang wajah beliau melalui layar, dan yang berjalan bukan lagi pikiran, tetapi rasa. Ini agak sulit dijelaskan, tetapi coba pikirkan begini. Ketika engkau memandang wajah orang tertentu, terkadang ngkau akan merasakan ketenangan, atau bahkan kegembiraan. Jika, dan hanya jika, kita menghayati dan masuk ke dalam rasa itu, menurut yang saya pelajari, di situ ada “pelajaran” lain yang melengkapi kata-kata. Kata-kata mungkin terlupakan seiring waktu, tetapi pengalaman, kesan mendalam, akan lebih awet. Kesan yang “halus” ini memuat pelajaran dan kita akan memperoleh pelajarannya di waktu yang lain, atau seketika saat itu juga, tergantung bagaimana Allah mengatur, dan tergantung seberapa kuat tekad (himmah) kita dalam mengenal diri sendiri, yang merupakan jalan mengenal Tuhan.

“Memandang wajah orang alim adalah berkah,” tentu orang pondok paham ini. Tetapi tentu ada syarat dan ketentuan. Terkadang kita lupa bahwa ulama, sebagai pewaris para nabi, idealnya bukan hanya mewarisi informasi ilmu, tetapi juga akhlak nabi, sampai level tertentu. Warisan akhlak ini hanya bisa diperoleh dengan lebih utuh jika orang berguru secara langsung, bukan hanya melalui kitab-kitab. Itulah salah satu rahasia sanad. Mas Ulil, sependek pengetahuan saya, adalah orang pesantren dan tentunya memiliki sanad. Jika kita menjalankan kegiatan belajar ilmu tasawuf ini dengan menyertakan dzauq, kadang ada hal-hal yang kita peroleh secara tidak langsung. Bayangkan begini. Ada suatu masa ketika menymak, lalu kita tenggelam dalam muhasabah rasa, sambil memandang wajah si pemberi pelajaran, mas Ulil misalnya, mendadak kita tak hanya melihat wajah beliau: kita terbayang guru-guru beliau, ulama-ulama lain yang punya relasi sanad dengannya, seperti mertua beliau Simbah Kakung, Mbah Maimoen, bahkan sampai ke Hadratus Syeh Hasyim Asy’ari. Lalu kita merasakan kerinduan yang menenangkan, hasrat ingin bertemu dan mencium tangan para masyayikh. Dalam kerinduan semacam ini, sependek yang saya ketahui dan saya alami, mengandung pelajaran-pelajaran spiritual yang bisa kita peroleh jika kita mengenali betul apa rasa “rindu” itu sesungguhnya. Sebab bukan tanpa sebab jika Allah menganugerahkan “rasa rindu” semacam itu secara tiba-tiba kepada batin kita.

Saya gembira sekali bisa mengenal Mas Ulil, berkesempatan bertemu dan mengaji ke beliau walau secara onlen dan tidak utuh, karena masalah kuota dan sinyal – sehingga kadang saya harus mencicil ketika mendengarkan siaran ulangnya. Tetapi itu sudah lebih dari cukup karena saya diberi kesempatan oleh Allah Yang Mahamengatur untuk berjumpa langsung dengannya. Saya kasih satu cerita mengapa pertemuan langsung, menurut saya, sering menyampaikan pelajaran tak terduga dari guru, termasuk guru yang saya klaim sepihak ini.

Di suatu kafe di Yogya, saya mengikuti acara beliau, yang tak secara khusus berbicara soal Ihya, tetapi tasawuf pada umumnya. Saya tidak konsen, karena situasi agak ramai dan sesekali teman mengajak bicara. Tetapi saya meletakkan “rasa” saya ke mas Ulil, “mendengar” melalui dzauq. Ada satu momen, sesudah acara selesai, ketika beliau berkenan menjadi background foto selfi audien: saya melihat ketenangan terpancar dari wajah beliau. Rasa tenang itu menyambar hati saya, dan saya ikut tenang. Saya melihat beliau tersenyum menyalami audien, dan di mata saya itu adalah pemandangan yang menggembirakan sekaligus mengharukan. Pada momen itu saya ingat satu pelajaran dari guru saya yang masih belum saya pahami, kini mendadak menjadi jelas maknanya setelah saya melihat peristiwa sederhana itu. Dan saya tak perlu lagi bertanya, selain hanya mengucapkan terima kasih bil goib dan sekaligus bersyukur kepada Allah yang telah mengatur segalanya dengan sangat indah. Pada akhirnya, setiap orang akan memperoleh pemahaman dan pengalaman batin masing-masing setiap ngaji apapun dengan niat lillahi ta’ala, yang insya Allah bermanfaat dan cocok bagi masing-masing individu walau boleh jadi tidak sama atau tidak cocok bagi individu lain, karena sekali lagi, hanya Allah Yang Mahamengetahui mana yang terbaik untuk diterima oleh hamba-hambaNya.

(nb: oh ya, saya males berterima kasih langsung karena saya selalu kesulitan mencium tangan beliau karena beliau waspada dan bersiasat mengelak, sehingga saya juga kudu terpaksa bersiasat biar bisa nyium tangannya, sedangkan orang lain gampang banget tanpa siasat … bikin aku kezel batz),

Apakah ini yang namanya barokah kyai? Wallahu a’lam.

Salim kagem mas Ulil Abshar Abdalla