Sekolah Itu Tidak Penting

Oleh :
Mochammad Rifai

James marcus Bach, seorang radikalis, bukan pada ideologi ataupun politik. Dia yang protolan SMA itu menulis buku extreem provokatif banget berjudul ‘Secret of Buccaneer Scholar : How Self-Education and the Persuit of Passion Can Lead to a Lifetime of Success”. Berhentilah Sekolah Sebelum Terlambat! Sebuah teriakan seperti dalam kondisi SOS, emergency. Hal yang mustahil bisa diterima oleh kebanyakan orang yang justru setiap saat meneriakan, sekolah penting! Sekali lagi sekolah itu lagi penting! Pikiran dan tindakan pragmatis Bach, tidak bisa dilihat dan dipercayai hanya dari judulnya. Ada kronologis dan paradigma yang melatarbelakngi pikiran dan action pemilik ide gila ini.
Saya tidak membutuhkan sekolah, kata Bach. Sekolah, bagiku tidak penting. Juga kalian bisa sama dengan saya. Tapi kalau kalian mendapatkan kemanfaatan, kebahagiaan dan kesenangan di sana, tetaplah tinggal di sekolah. Tetapi jika sebaliknya sekolah justru membuatmu resah, tidak bahagia, tidak membuatmu ada solusi, segara tinggalkan tempat itu. Kalimat radikal itu disampaikan kepada siswa yang terancam dikeluarkan dari sekolah karena tidak disiplin, tidak semangat sekolah, kerap bolos. Bukannya Bach memberikan motivasi seperti pada umumnya kita; apakah pejabat, guru-guru, ustad atau orang sukses, agar mau menerima ajakan semangat bersekolah.
Bach juga menyeru senada menunjukkan tidak sepakat dengan sekolah yang tidak memberikan kejelasan bagi panggilan jiwanya. Tatkala sekolah tidak menjawab kebutuhan impian dan jaminan cemerlang masa depan, segera cari cara lain. Lihatlah saya, kata Bach. Cara lain untuk mewujudkan impian itu, bisa tanpa sekolah. Ini bukti. Memang bukan isapan jempol. Bach sosok sembodo yang luar biasa dengan karakter kuat menjawab persoalan dalam dirinya. Memutuskan keluar dari sekolah kemudian belajar sendiri, tidak mungkin dilakukan seorang tanpa nyali dan perhitungan. Menghadapi orang tuanya yang tidak sepakat, cemoohan dan sikap tidak mendukung dari kanan-kiri sosialnya pasti bagian tantangan tersendiri.
Di usia 24 tahun, Bach menjadi manajer penguji perangkat lunak perusahaan besar Apple Computer Silicon Valley, AS. Bagaimana perusahaan sekelas Apple memperkerjaan Bach tanpa ijazah? Raihan sukses Bach tanpa ijazah itu bentuk cari lain mencapai jalan sukses tidak lewat pintu sekolah. Tidak sekolah sama sekali tidak bahaya. Malas belajar itu pilihan terburuk yang membuat tertutup pintu bagi potensi setiap orang. Berfikir dan bertindak nyleneh sebenarnya tidak hanya terjadi pada seorang Bach. Di tanah air ini ada anak bangsa yang hebat sekalipun tidak punya pikiran ‘provokatif’ seperti halnya Bach. Menteri Kelautan Susi Pudjiatuti satu di antaranya yang viral. Kabinet Presiden Jokowi ini hanya seorang perempuan berijazah SMP. Ibu Susi, memutuskan untuk tidak lanjut sampai lulus SMA. Bagian anggota badan bertato. Rambut diwarna pirang. Kabarnya juga suka merokok. Pokoknya kriteria ‘negatif’ padangan masyarakat pendidikan ada pada dia, Ibu Susi. Tetapi apa kata Ibu Susi di hadapan para mahasiswa ITB, “saya ini menteri yang paling rendah pendidikannya, tetapi di pundak saya pekerjaan menteri paling berat yang harus saya pikul. Luas lautan Indonesia dengan segala persoalan itu, wilayah tanggung jawab saya”. Di hadapan saya ini pemuda-pemuda pilihan. Tapi ingat, menghadapi hidup ini ‘pinter’ saja belum cukup. Perlu ketajaman pada bagian-bagian di luar kecerdasan intelektual diperlukan seperti feeling, kemampuan membaca persoalan dan peluang jauh ke depan dan terakhir harus punya nyali dan keyakinan yang kuat. Itu tidak ada kurikulumnya di kampus, jelasnya.
Ada beberapa kesamaan antara Bach dan Menteri Susi. Mencari cara lain saat sekolah tidak bisa menjawab panggilan jiwanya. Sayang di lingkungan pendidikan kita ini, saat menghadapi siswa yang sedang galau, resah karena yang dibutuhkan tidak nyambung dengan sajian sekolah yang terjadi pasti nasihat-nasihat pemaksaan. Bach mengkritik dengan bahasa lugas kepada guru menghadapi anak yang sudah malas belajar. Tugas Anda bukan membuat mereka merenungi ‘nasib’ buruk yang akan menimpa saat tidak menjadikan sekolah sebagai pilihan terbaik. Melainkan harus dapat membantu mereka untuk pergi ke dunia luar sekolah yang lebih memberikan peluang untuk bisa berkreasi menjawab kebutuhannya itu. Dan segera beri tahu mereka bagaimana caranya. Di sinilah satu titik lemah pada umumnya guru-guru kita yang mindsetnya sudah terbangun hidup enak dengan gaji. Melaksanakan pekerjaan yang sudah tertata teratur dari birokrasi di atasnya. Bukan pekerjaan yang dibargainingkan hasil daya cipta yang ditawarkan kepada atasannya. Maklum brow kebanyakan mentalitas ASN kita melaksanakan pekerjaan dengan semangat ‘asal bapak senang saja’.
Memperhatikan kutipan-kutipan pendek di atas, bukanlah tawaran menarik untuk dipresentasikan di tengah-tengah para elitis pendidikan kita yang formalis. Pola pikir out the box tidak serta-merta dipandang sebuah kehebatan saat harus bertubrukan dengan apa yang disebut kebijakan. Di luar nalar politik, sekolah atau tidak sekolah itu sebuah pilihan hidup. Memilih opsi tidak sekolah itu hakikatnya bukanlah pelanggaran hukum. Diyakini setiap orang memiliki keperibadian yang berbeda, selera berbeda, visi berbeda. Yang harus dijamin negara itu hidup rakyat yang berkelayakan, bermartabat. Pikiran radikal Bach dan pengalaman sukses Menteri Susi sebatas referensi bahwa ‘masih ada cara’ untuk tidak menjadikan sekolah itu satu-satunya pintu yang bisa menjawab panggilan jiwa setiap orang. Perguruan tinggi bukanlah jawaban satu-satunya untuk memperoleh status hidup sukses. Maka itu, saat mendekati lulusan kelas XII, lalu-lalang setiap hari tawaran lembaga pendidikan formal dengan berbagai argumentasi sebagai jembatan menuju hidup sukses dengan pula iming-iming gelar akademik yang keren. Perlu sebenarnya, mengikuti saran Bach, Menteri Susi, dan orang sukses lain tanpa sekolah tinggi. Sumber inspirasi dan membangun optimisme bagi mereka yang tidak kebayang melanjutkan sekolah dari berbagai alasan. Atau memberikan ruang berfikir untuk mereka yang ingin memperpendek waktu dengan maksud mendekatnya ke dunia kebutuhan lebih nyata mereka.
Tantangan nyata era digital dampak Rev. 4.0. yang tidak mungkin dihindari siapa pun dengan kekuatan apapun kecuali beradaptasi. Persoalannya sejauhmana kekuatan sekolah bisa menerawang sekaligus berasumsi tentang perubahan teknologi dunia tak kasat mata? Jika sekolah dibangun hanya untuk mencetak tenaga kerja guna menyesuaikan diri dengan kepentingan industri dan membentuk mentalitas pegawai, yang dihasilkan justru jutaan pengangguran. Terlepas dari kepentingan politik negara, sekolah harus siap-siap reorientasi mengevaluasi total kebijakannya.
Paul Krugman, kolumnis The New York Times, 2011, menegaskan fakta-fakta di Amerika Serikat bahwa posisi golongan ‘kerah putih’ di level menengah —yang selama beberapa dekade dikuasai para sarjana dan bergaji tinggi— kini digantikan peranti lunak komputer. Lowongan kerja untuk level ini tidak tumbuh, malah terus menciut. Sebaliknya, lapangan kerja untuk yang bergaji rendah, dengan jenis kerja manual yang belum bisa digantikan komputer, seperti para petugas pengantaran dan kebersihan, terus tumbuh.
Kalaulah sekolah hanya untuk menciptakan lapangan pekerjaan, pikiran pragmatis kiranya tidak perlu harus promosi tentang sekolah perguruan tinggi yang muluk-muluk tiwas menghabiskan uang dan waktu. Fakta hari ini untuk prediksi -minimal dua dekade ke depan- jenis pekerjaan yang terbuka cukup dilakukan orang dengan pendidikan dasar. Sementara pada bagian lain pada level pengerjaan dengan softwear, programer-programer, cukup pendidikan informal/nonformal. Tumbuh daya kreasi dan imajinasi dari dorongan masing-masing. Munculnya usaha Gojek, Bukalapak dan sejenisnya tidak lahir dari perguruan tinggi. Perusahaan pengelola game, iklan-iklan elektronik, diisi oleh anak-anak muda yang sejatinya tidak dibutuhkan ijazah apapun kecuali ditunjukkan kompetensi terukur produktivitasnya.
Persepsi sosial-kultural bahwa semakin tinggi pendidikan peluang mendapatkan pekerjaan semakin terbuka tidak terjawab. Sekalipun hari ini fakta lokal belum menjadi ancaman, minimal sudah terasa kondisi itu akan segera hadir bersamaan dengan arus globalisasi yang kian kencang tak terbendung. Sir Ken Robinson, profesor pakar pendidikan dari Inggris, dengan ironisme: menggambarkan betapa sekarang ini sudah terjadi inflasi gelar akademis, over load. Akibatnya, nilainya di dunia kerja semakin merosot. Lebih dari itu, ia menilai sekolah-sekolah hanya membunuh kreativitas para siswa. Maka, harus dilakukan revolusi di bidang pendidikan yang lebih mengutamakan pembangunan kreativitas.
Akan tetapi, kualitas peradaban sebuah bangsa tak cukup hanya ditopang oleh para operator di lapang. Mutlak perlu dilahirkan para kreator yang kaya imajinasi. Oleh karena itu, seluruh potensi kecerdasan anak bangsa harus dibangun secara lebih serius sejak dini. Maka, diperlukan metode pengajaran yang tak hanya membangun kecerdasan visual-auditori-kinestetik. Daya nalar tinggi, kreativitas dan imajinasi yang kuat; hal yang tak akan tergantikan oleh perangkat secerdas komputer merk apa pun!