Keris dan Wanita Jawa

 

Oleh: Enang wahyu

Keris adalah senjata tikam golongan belati (berujung runcing dan tajam pada kedua sisinya) dengan banyak fungsi budaya yang dikenal di kawasan Nusantara bagian barat dan tengah. Bentuknya khas dan mudah dibedakan dari senjata tajam lainnya karena tidak simetris di bagian pangkal yang melebar, sering kali bilahnya berkelok-kelok, dan banyak di antaranya memiliki pamor (damascene), yaitu terlihat serat-serat lapisan logam cerah pada helai bilah. Jenis senjata tikam yang memiliki kemiripan dengan keris adalah badik. Senjata tikam lain asli Nusantara adalah kerambit.

(burung, kegemaran, hobi). (Gesta Bayuadhy, 2015). Dalam konteks ini, keris menemukan fungsinya sebagai simbol kelaki-lakian.

Faktanya, keris tidak hanya diperuntukkan bagi kaum laki-laki. Di masa lalu, juga ada keris yang diperuntukkan bagi perempuan Jawa, yaitu Patrem dan Cundrik.

Patrem merupakan akronim dari bahasa Jawa Panggane Ingkang Damel Tentrem’ yang berarti membuat hati tenteram bagi siapa saja penggunanya. Hal ini dikarenakan, keberadaan Patrem yang difungsikan untuk melindungi diri dari berbagai serangan. Dengan membawanya, seseorang akan merasa aman dan tenteram.

Sebagaimana tertulis dalam beberapa buku sejarah, diceritakan bahwa dahulu kala seorang putri kerajaan di Jawa dipersenjatai Patrem untuk menjaga keselamatannya. Hal tersebut juga diperkuat dengan catatan Raffles dalam bukunya The History of Java (1817) . Ia menyebutkan bahwa prajurit-prajurit wanita di keraton Yogyakarta dipersenjatai dengan keris yang disandang di pinggangnya.

Hal senada juga dinyatakan oleh Bambang Harsrinuksmo. Dalam bukunya Ensiklopedia Keris (2004), ia menyebutkan bahwa ada keris khusus untuk perempuan Jawa, yakni Patrem. Keris ini hampir tidak memilki perbedaan signifikan dengan keris pada umumnya, kecuali dalam hal ukuran. Patrem pada umumnya berukuran kecil dengan panjang sejengkal atau kurang dari 30 cm.

Patrem mulai dikenal sekitar abad ke 14 Masehi, meskipun belum bisa dipastikan tepatnya dan siapa yang memperkenalkannya. Bentuk Patrem juga bermacam-macam, salah satunya bentuk yang paling mashur adalah cunduk ukel atau konde. Patrem Cunduk Ukel merupakan senjata rahasia putri raja yang disembunyikan pada ukelan (gulungan) rambut dan konon ujungnya dilapisi dengan racun.

Keberadaan Patrem juga disinggung dalam Kidung Sundayana. Dalam kidung yang ditulis oleh Bhujangga Bali itu, diceritakan bahwa Patrem merupakan senjata yang digunakan Dyah Pitaloka Citraresmi, putri dari Kerajaan Pasundan. Senjata ini digunakan Dyah Pitaloka Citraresmi untuk bela pati (melukai diri demi membela kehormatan) saat terjadinya perang Bubat. (Berg, 1927: 4).

Memang benar, Patrem digunakan para kaum perempuan. Namun tidak semua perempuan menggunakan senjata ini. Senjata ini terkhusus hanya dipakai keluarga kerajaan dan wanita yang memiliki wibawa dalam masyarakat. Keris patrem ini mencitrakan imaji perempuan perkasa yang memiliki posisi setara dengan laki-laki dengan status sosial yang sama-sama tinggi.

Selain Patrem ada pula Cundrik, yaitu keris berukuran kecil, panjangnya hanya sekitar 10 sampai 15 cm. Selebihnya, Cundrik persis dengan keris, baik ditinjau dari segi dapur, pamor, mapun motifnya. Pada zamannya Cundrik biasa digunakan oleh para resi perempuan, permaisuri dan selir sebagai piandel atau kekuatan diri. Karena itu, Cundrik sengaja dibuat dengan ukuran kecil agar mudah disembunyikan (Nugroho Adi, 2018).

Semua itu, seakan menegaskan bahwa persepsi tentang keris yang dipahami sebagai simbol maskulinitas bagi orang Jawa perlu dievaluasi. Nyatanya, ada jenis keris yang memang diperuntukkan bagi kaum perempuan, yaitu Patrem dan Cundrik. Tak hanya itu, di antara perempuan-perempuan pembawa keris itu adalah seorang resi.

Keberadaan Patrem dan Cundrik menjadi bukti nyata kesetaraan perempuan dan laki-laki Jawa dalam model yang paling tradisional. Hal ini sekaligus menegaskan, bahwa di masa lalu perempuan Jawa tidak hanya diposisikan untuk masak, macak, dan manak, melainkan juga memiliki peran dalam kebudayaan.