Seandainya Saya Seorang Penghayat Kepercayaan

Seandainya Saya Seorang Penghayat Kepercayaan.

Saya adalah muslim, NU, jawa, Indonesia. Setiap kita memiliki multiidentitas. Setiap identitas berkonsekuensi psikologis, sosiologis, dan politis. Segala sikap dan tingkah laku kita diwarnai dan dipengaruhi oleh identitas-identitas kita.

Sebagai sebuah bangsa yang besar, Indonesia dibangun oleh dan atas dasar beragam identitas. Indonesia dirumuskan bersama dengan keterwakilan berbagai golongan, suku, agama, dan etnis yang satu sama lain berkomitmen hidup bersama secara damai dan sejahtera. Saya sadar, Pancasila dilahirkan dari hasil perdebatan dan perenungan panjang tentang identitas kebangsaan yang berbeda dan beragam itu.

Saya tahu segala bentuk hukum dan perundangan yang ada di negara ini dirumuskan atas dasar dan untuk kepentingan bersama seluruh warga, tanpa terkecuali. Saya tahu, konsekuensi kepentingan bersama itu meniscayakan reduksi dan kompromi dari kepentingan kelompok dan individu. Tanpa itu, mustahil komitmen kebersamaan diwujudkan dan dipelihara.

Karena itu, setiap titik diskriminasi terhadap individu, apalagi komunitas atau kelompok, harus dihapuskan dari negeri ini. Setiap diskriminasi dan perlakuan yang berbeda atas dasar identitas harus dianggap menyimpang dari fitrah Indonesia.

Penghayat dan Agama

Seandainya saya adalah penghayat kepercayaan, saya akan merasa menjadi orang yang paling tidak beruntung di negara ini, karena diskriminasi atas nama identitas kepenghayatan saya justru dimulai ketika negara ini merumuskan konstitusinya.

” UUD 1945 Pasal (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. “

Ada beberapa hal yang aneh bin tak jelas dalam rumusan yang tak tersentuh hingar bingar amandemen ini:

Saya betul-betul tak tahu, “itu” dalam kalimat tersebut kembalinya ke mana?
Mengapa ada kata “dan” di tengah agama dan kepercayaan? Kenapa tidak “atau”?
Apa yang dimaksud kepercayaan dalam hal ini? Apakah maksudnya sama dengan agama lokal atau agama adat seperti kepercayaan “Badui” atau “Sedulur Sikep” atau “Parmalim” dan lebih dari 300 kepercayaan lainnya? Kalau ya, mengapa kata “kepercayaan” hanya muncul pada anak kalimat kedua, sementara di anak kalimat pertama hanya ada “agama”?
Ataukah maksudnya adalah kepercayaan di dalam agama masing-masing, seperti sekte atau aliran atau denominasi (sunni, syiah, ahmadiyah, dll)? Kalau ya, lalu di mana posisi Badui dkk itu? Apakah dianggap setara dengan agama? Kalau ya, mengapa mereka tak boleh ditulis di KTP? Mengapa orang tidak pernah memasukkan mereka setiap kali orang Indonesia membuat daftar agama-agama?
Sekali lagi, mengapa kata “kepercayaan” tak muncul di anak kalimat pertama yang berhubungan dengan “memeluk”, dan hanya muncul di anak kalimat kedua yang berhubungan dengan “beribadat”? Apakah ini berarti orang Indonesia itu hanya “memeluk agama” dan tidak “memeluk kepercayaan”? Atau berarti, kepercayaan memang muncul dalam kaitan dengan ibadat?

Jika kita sepakat bahwa rumusan ini cenderung diskriminatif, maka diskriminasi pada tingkat Undang-undang, peraturan daerah, dan peraturan-peraturan lain, hanyalah konsekuensi ikutan dari rumusan konstitusi kita yang salah dari awal. Apalagi diskriminasi pada tingkat implementasi di lapangan.

Melalui Pak Priyanto, saya tahu ada 3 jenis penghayat kepercayaan di Indonesia. Pertama, penghayat kepercayaan yang beragama dan menjalankan syariat agama secara lengkap. Kedua, penghayat yang di dalam KTPnya memeluk satu agama tapi perilaku sehari-harinya melakukan penghayatan menurut ajaran masing-masing. Ketiga, penghayat murni, yang tidak memeluk agama tertentu dan hanya berpegang pada organisasi penghayat.

Jika menurut beliau diskriminasi hanya dialami oleh penghayat jenis ketiga, saya merasa bahwa banyak kasus menunjukkan bahwa jenis kedua juga terdiskriminasi, dan pada tataran tertentu jenis pertama juga. Sejarah mencatat betapa terjadi eksodus besar-besaran kelompok penghayat kepada agama-agama ”resmi”, dan terjadi pemaksaan terstruktur oleh negara kepada kelompok penghayat untuk memilih satu di antara ”enam agama resmi” dalam KTP mereka.

Politik pengakuan

Seandainya saya adalah seorang penghayat kepercayaan, saya akan menggugat ”politik pengakuan” yang menjadi mindset, semangat, dan jiwa para pengambil keputusan dan pengelola negara ini. Munculnya istilah ”agama resmi”, ”agama yang diakui”, dan semacamnya adalah akibatnya. Istilah-istilah tersebut memunculkan kategori warga kelas satu, kelas dua, dan seterusnya.

Politik pengakuan ini adalah biang diskriminasi berkelanjutan terhadap kelompok penghayat dan kelompok minoritas yang lain. Politik semacam ini tidak menempatkan negara dalam ranah yang netral, berdiri di atas semua golongan dan kelompok.

Dan karena politik semacam ini dilanggengkan oleh sebuah rezim otoriter dengan berbagai cara dalam berbagai ranah kehidupan, ia telah menghegemoni cara berpikir di hampir semua kalangan. Lahirlah apa yang kemudian disebut sebagai mayoritarianisme.

Comfort Zone

Politik pengakuan itu pula yang menjangkiti sebagian kalangan kelompok minoritas sendiri, termasuk di dalamnya kelompok penghayat kepercayaan. Tercatat beberapa peristiwa besar menyangkut gerakan hak kaum penghayat ini berujung pada tuntutan untuk ”diakui” oleh negara. Terakhir, beberapa tahun lalu terselenggara pertemuan besar kelompok Kaharingan di Kalimantan, yang rekomendasi utamanya adalah tuntutan kepada pemerintah agar mereka diakui secara resmi oleh negara.

Seandainya saya adalah seorang penghayat kepercayaan, saya akan menangisi situasi ini, karena beberapa hal:

Pertama, situasi ini akan mengakibatkan kelompok penghayat yang ”belum diakui” akan memfokuskan gerakan politik dan perjuangan identitas mereka pada satu tujuan: ”pengakuan” oleh negara. Dan karena ”pengakuan” berakibat pada fasilitas, pelayanan publik, dan privilese tertentu, maka pengakuan ini adalah comfort zone bagi mereka.

Kedua, situasi ini juga mengkondisikan kelompok-kelompok minoritas tersebut dalam perjuangan yang sektarian, dan melupakan agenda besar bersama untuk keadilan, kesetaraan, dan pemenuhan hak-hak sipil secara luas.

Ketiga, sementara itu, bagi kelompok yang sudah berada dalam payung ”pengakuan” tersebut cenderung menikmati zona nyaman mereka dan melupakan diskriminasi panjang dan berkelanjutan yang pernah mereka alami dan masih dialami oleh kelompok-kelompok lain di negeri Bhinneka Tunggal Ika ini. (Tanpa mengurangi rasa hormat, saya tidak setuju terhadap penempatan Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di bawah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, ataupun Departemen Pendidikan dan Kebudayaan).

Keempat, dalam banyak kasus, fasilitas negara ini juga menimbulkan konflik kepentingan dan perebutan kue kekuasaan di antara kelompok-kelompok yang diakui. Logika representasi berperan penting dalam kasus ini.

Kelima, karena sejak awal negara telah memposisikan kelompok penghayat sebagai kelompok yang harus ”diawasi” (dengan Bakorpakem dan semacamnya), maka mau tidak mau negara turut mengintervensi substansi, nilai, ajaran dalam satu kelompok.

Hak Sipil & Kebebasan Beragama

Bagi saya, agama, keyakinan, kepercayaan, adalah wilayah privat saya sebagai manusia. Terutama soal hubungan saya dengan Tuhan saya. Agama adalah self-proclaim. Tidak seorangpun atau satu institusipun berhak mencampuri pilihan saya terhadap agama dan kepercayaan saya, apalagi memaksa saya untuk meyakini atau tidak meyakini sesuatu.

Tugas negara justru adalah melindungi segenap penganut agama dan kepercayaan, dan memenuhi hak-hak sipil mereka sebagai warga negara, tanpa terkecuali.

Seandainya saya adalah seorang penghayat kepercayaan (terutama jika saya adalah penghayat murni dalam kategori Pak Prianto ), maka saya akan menuntut negara untuk memposisikan kepercayaan saya sebagai entitas yang sejajar dengan agama Islam, Kristen, Katolitk, Hindu, Buddha, Konghucu, Bahai, Sikh, Yahudi, dll. Perlindungan terhadap umat muslim harus sejajar dengan perlindungan terhadap saya sebagai warga negara. Hak seorang muslim di mata negara harus sama dengan hak saya. Jika orang Islam boleh melakukan Islamisasi, orang Kristen boleh melakukan Kristenisasi, maka saya harusnya boleh melakukan ”penghayatisasi”. Karena, saya meyakini kebenaran dan relasi spiritualitas saya dengan Tuhan saya sama halnya keyakinan mereka terhadap nilai-nilai dan ajaran mereka. (Perlu dicatat, Orde Baru merumuskan trilogi kerukunan beragama yang memuat poin: ”agama boleh menyiarkan agamanya hanya kepada orang yang belum memeluk agama”, dan seorang penghayat dalam hal ini dianggap sebagai orang yang belum memeluk agama.)

Bagi saya, kebebasan beragama adalah harga mati. Termasuk kebebasan untuk tidak memilih satu agamapun yang ada di negara ini. Dan justru tugas negara adalah melindungi dan memfasilitasi terpenuhinya prinsip-prinsip kebebasan beragama tersebut.

Melihat keluar

Seandainya saya adalah seorang penghayat kepercayaan, saya akan cenderung melihat keluar sebagai seorang individu, warga negara, yang secara politik memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya, memiliki hak yang sama untuk berkontribusi terhadap kemajuan, integrasi, dan perdamaian antar-sesama anak bangsa.

Saya tahu, di luar sana masih ada masalah besar, yaitu law enforcement dan negara yang lemah. Satu masalah besar yang masih menjadi hambatan pemenuhan hak minoritas adalah masih banyaknya produk hukum yang diskriminatif. Meski secara umum semangat pro-Hak Asasi Manusia sudah mulai mempengaruhi para pengambil kebjakan, namun pada implementasinya, ini tidak dibarengi dengan semangat mereformasi seluruh produk hukum yang tak sejalan dengan semangat HAM tersebut. Masalah lainnya adalah soal aparatus negara yang seharusnya bersikap netral dan tidak berpihak, namun dalam banyak kasus cenderung mengikuti arah angin opini publik. Apalagi jika menyangkut isu sensitif tentang agama, kaum minoritas, dan kaum adat. Dalam banyak kasus lain, aparat menyerah oleh tekanan sekelompok massa atau orang yang sering kali mengatasnamakan mayoritas.

Saya juga tahu, di luar sana masih pula ada masalah besar lain, yaitu politisasi agama. Terbukanya keran demokrasi pasca otoritarianise Orde Baru memberi warna baru dalam relasi agama-negara, yaitu menguatnya politik identitas, termasuk identitas keagamaan. Agama menjadi komoditas politik dan ekonomi yang sangat signifikan menciptakan celah-celah konflik baru di antara sesama elemen masyarakat. Lahirnya perda-perda syariat dan tuntutan pendirian negara Islam di banyak daerah juga tak luput dari ini.

Saya percaya bahwa manusia adalah zon politicon. Dan misi kemanusiaan saya adalah penerjemahan misi ketuhanan yang saya yakini. Saya percaya bahwa manusia terbaik adalah manusia yang paling berguna, bermanfaat, bagi manusia lainnya.

Saya percaya, diskriminasi panjang dan berkelanjutan terhadap kelompok penghayat, atau kelompok yang lain, atau terhadap individu sekalipun, tidak akan terhapuskan tanpa kontribusi saya sebagai warga negara, sekecil apapun yang bisa saya lakukan. Saya percaya bahwa kesetaraan, keadilan, bukan hadiah atau pemberian, namun adalah sesuatu yang harus diperjuangkan.

Seandainya saya adalah seorang penghayat kepercayaan, saya tidak akan bisa tidur nyenyak sebelum semua penghayat di negara ini setara dengan warga negara lainnya. Sebelum bangunan kebencian, kecurigaan, dan stereotyping diruntuhkan.

Totok Budiantoro

Koresponden MM.com