Kepercayaan Masyarakat Adat Trah Wonokeling

Kepercayaan masyarakat adat trah Bonokeling

Di era Globalisasi yang merambah semua bidang kehidupan, seolah sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat hari ini. Namun, perkembangan zaman yang serba modern, nampaknya tidak membuat silau komunitas Bonokeling yang tetap menjalankan laku tradisi mengikuti jejak para leluhur.

Berbagai pantangan dan syarat yang diturunkan dari para leluhur masih nampak kuat terpatri dalam ajaran Kejawen pengikut Bonokeling.

“Kami harus selalu ikhlas dan memiliki niat yang kuat untuk melaksanakan semua ajaran yang diturunkan dari leluhur kami,” ucap Warga (46), salah satu anggota pengikut Bonokeling atau dikenal dengan sebutan anak-putu Bonokeling.

Warga merupakan satu dari ribuan bagian komunitas anak-putu Bonokeling yang berasal dari Kelurahan Tambakreja Kecamatan Cilacap Selatan. Ia mengaku mengenal tradisi Bonokeling dari orang tuanya yang sudah lama mengikuti ajaran tersebut.

“Saya memutuskan untuk mengikuti ajaran Bonokeling setelah sunat. Karena syarat untuk bisa menjadi bagian dari anak-putu Bonokeling adalah sudah memasuki usia dewasa,” jelas pria yang mengaku meninggalkan pekerjaannya untuk mengikuti adat tradisi dari leluhur, Unggah-unggahan.

Meski begitu, tidak semua anak-putu Kyai Bonokeling mengetahui secara pasti sosok panutan mereka. Juru bicara adat Desa Pekuncen Kecamatan Jatilawang Banyumas Jawa Tengah, Sumitro mengakui tidak ada yang mengetahui sosok Kyai Bonokeling. Dia mengatakan hanya mengetahui sosok Kyai Bonokeling sebagai salah satu tokoh dari daerah Pasirluhur.

“Yang kami tahu, Kyai Bonokeling merupakan sosok tokoh dari Pasir (Pasirluhur),” jelasnya singkat.

Dalam beberapa literatur, wilayah Pasirluhur sebelumnya merupakan bagian dari Kerajaan Pajajaran. Sedangkan menurut Sejarawan Banyumas, Sugeng Priyadi dalam buku ‘Banyumas: Antara Jawa dan Sunda’, Pasirluhur merujuk pada daerah perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sugeng menyebutnya sebagai toponim (nama tempat) perbatasan Sunda dan Jawa yang memiliki pengaruh di dua daerah tersebut.

Keberadaan tokoh Kyai Bonokeling, menurut Sugeng, memperkuat keberadaan sisa kerajaan Pasirluhur yang ada di wilayah Banyumas dan Cilacap dengan berbagai tradisi yang masih dilestarikan turun temurun. Tradisi tersebut, jelas Sugeng terlihat dalam ritual berjalan kaki menuju pemakaman leluhur ke Desa Pekuncen Kecamatan Jatilawang Banyumas dengan mengenakan pakaian adat serba hitam tanpa mengenakan alas kaki.

Menurut salah satu penulis buku ‘Islam Kejawen; Sistem Keyakinan dan Ritual Anak Cucu Bonokeling’ ini, kedatangan Kyai Bonokeling ke Desa Pekuncen merupakan bagian dari kegiatan ‘among tani’ atau membuka lahan pertanian.

“Selama masa pembukaan lahan pertanian inilah, Kyai Bonokeling yang digambarkan sebagai sosok muslim, melakukan kegiatan tersebut sambil menyebarkan Islam,” ujarnya.

Penyebaran Islam yang disebarkan Bonokeling dilakukan dengan mengakomodasi nilai budaya lokal yang sudah ada, salah satunya adalah kegiatan slametan untuk berbagai kepentingan. Namun, menurut Ridwan, penyebaran Islam dalam masyarakat tidak berjalan paripurna.

“Kemungkinan besar sebelum menyempurnakan Islam dalam komunitasnya, Kyai Bonokeling wafat. Sehingga yang menonjol saat ini adalah hasil dialog antara Islam, Hindu-Budha, dan agama lokal,” jelasnya.

Ridwan menyatakan bentuk dialog antar keyakinan ini belum selesai sehingga menghasilkan varian baru. Dari sisi Hindu, jelasnya, bisa terlihat dari corak baju yang masih digunakan dalam upacara tradisi yang digelar. Kemudian, tradisi lokalitas diwujudkan dalam slametan. Sedangkan nilai Islam yang tertanam baru sampai titik kepercayaan terhadap keesaan Tuhan. “Dalam setiap lelaku, komunitas ini meminta segala sesuatunya kepada Allah,” jelasnya.

Jalan kaki tanpa alas kaki, Sebaris jamaah masyarakat adat Bonokeling berbondong-bondong menuju makam leluhur di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, untuk memulai ritual sambut bulan suci Ramadhan. Kasepuhan (pemuka adat) trah Bonokeling, Sumitro mengatakan, seminggu sebelum memasuki bulan puasa, trah Bonokeling atau yang biasa disebut anak-putu menjalani laku lampah. Laku lampah mewajibkan setiap anak-putu trah Bonokeling dari berbagai wilayah untuk berjalan kaki ke Desa Pekuncen.

Anak-putu trah Bonokeling tersebar dari Adipala, Daun Lumbung yang masuk wilayah Cilacap hingga warga Kedungwringin dari Banyumas. Mereka berjalan berombongan menuju Desa Pekuncen tempat makam leluhur, yakni Ki Bonokeling, terbaring.

“Anak putu akan istirahat semalam di Pekuncen. Acara puncak adat, Unggahan atau Nyadran, yakni berziarah ke makam Ki Bonokeling ,” kata Sumitro. Baca juga: Mabbaca-baca, Tradisi Unik Sambut Ramadhan Masyarkat dilangsungkan Rikat akhir, yakni membersihkan lokasi makam Ki Bonokeling.

Di sanalah ritual berakhir dan mereka pulang ke rumah masing-masing untuk menanti datangnya bulan suci Ramadhan. Trah Bonokeling, kata Sumitro, merupakan masyarakat adat Islam kejawen. Mereka hanya mengenal hisab berdasarkan almanak Jawa Alif Rebo Wage (Aboge) sebagai penentu hari besar keagamaan.

“Hitungannya pasti. Pasarannya pahing, itu terhitung 1 Aboge. Tahunnya Dal,” ujarnya. Tak hanya untuk hari besar keagamaan, almanak Jawa Aboge juga menjadi panduan bagi Trah Bonokeling dalam aktivitas sehari-hari. Ambil contoh untuk menentukan hari baik hajatan mulai dari pernikahan sampai acara adat.

Saat ini, di Pekuncen sendiri, Trah Bonokeling kurang lebih ada sebanyak 2.000 orang. Sedang di Adiraja, Kecamatan Adipala, ada 13 bedogol (pemuka adat), yang masing-masing membawahi Trah Bonokeling. Kurang lebih 3.000 trah Bonokeling mengikuti acara adat Unggahan di Desa Pakuncen.

Totok Budiantoro

koresponden MM.com