Antara Aji Mumpung dan Politik Dinasti

Oleh

Mochammad Rifai.

Jadi perbincangan di Medsos, padahal formalnya belum terbukti jika keluarga bupati Anas akan mencalonkan anggota keluarganya untuk nyabup yang akan digelar di akhir tahun ini. Tentu dari kubu yang kontra mencibir dengan nada kurang mendukung dengan bahasa yang halus hingga yang ‘manaskan telinga’ karena disertai diskrispi alasan yang nalar. Sementara pihak yang tidak mempermasalah tentu fine-fine saja. Nyabup itu bukan hanya persoalan siapa dan tokoh apa. Banyak pertimbangan utamanya dari sisi reputasi, kompetensi, popularitas (elektabitas), kesempatan dan tentu syarat lain yang tidak semua orang tahu.
Berbicara politik dinasti (menempatkan keluarga) dalam struktur kekuasaan sudah ada jauh sebelum republik ini berdiri. Namun saat model tatanegara kita berubah menjadi republik, demokrasi, pola dinasti dalam banyak hal masih kental. Bedanya di era demokrasi ini, pola politik dinasti tidak mutlak dan juga (tidak otomatis) karena melibatkan suara rakyat. Artinya masih dalam koridor demokrasi. Kekuasan itu sebenarnya merupakan permainan orang papan atas dan sekaligus para pemodal. Kekuasaan, kekuatan dan peran uang sulit dipisahkan. Kecuali dalam kondisi tertentu uang menjadi tidak penting.
Bagaimana nalar sehat kita bisa berbuat saat mendengar bahwa menuju kursi bupati harus menyediakan dana sampai berpuluh-puluh miliar. Ada istilah ‘mahar’ dalam penentuan siapa yang akan direkom oleh partai yang dimanfaatkan sebagai kendaraan. Pintar sundul langit kalau tidak dikuatkan oleh jaringan dan uang, hanya Tuhan yang bisa menentukan orang itu bisa menjadi pimpinan politik di daerah di seluruh negeri yang berideologi Pancasila ini. Popularitas, elektabilitas dan ‘isi tas’ menjadi bahasa orang awam melihat aplikasi demokrasi pilihan rakyat. Adegium orang awam ini mendorong lunturnya yang disebut idealisme. Berpikir idealisme hanya ada dibenak sedikit orang karena sudah merdeka dari banyak hal dan kepentingan. Sementara orang awam yang masih butuh sokongan ekonomi akan cenderung berpikir pragmatis dan bahkan menjadi berpaham fatalisme. Syetan pun kalau mau memberi aku uang, akan saya pilih dia. Begitu guyonan penduduk di kampung-kampung yang dominan masih di level prasejahtera.
‘Aji mumpung’ terbangun dari kondisi di mana masyarakat sudah tidak ada nalar yang cukup untuk mendukung siapa calon pimimpin. Tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat, oleh awam dipandang sebagai pemain politik juga. Itu sebabnya nasehat dan pencerahan terkait dengan bagaimana memilih seorang pemimpin dalam menentukan masa depan, ya didengar tetapi praktiknya cenderung tidak direken. Mumpung sedang berkuasa, mumpung punya jaringan, mumpung punya uang, tidak ada salah jika benar dimanfaatkan untuk tujuan kebaikan. Sah saja. Bahkan disarankan begitu. Niatnya memanfaatkan ‘aji mumpung’ inilah yang menentukan langkah-langka konkret setelahnya.
Artinya, antara ‘aji mumpung’ dengan politik dinasti ini bagian tak terpisahkan. Tidak ada yang dilanggar. Orang hanya mengukur dari sisi perasaan saja sehingga timbul kelompok kontra dengan menyuarakan antipolitik dinasti. Orang Jawa ada satire untuk mengkritik orang agar tidak berlebih-lebihan (tidak kebablasan) dalam memanfaatkan kesempatan dengan ungkapan ‘ngono yo ngono tapi ojo ngonolah’. Ungkapan sederhana ini mengedukasi (pengingat) agar kehidupan orang tidak melampaui batas kewajaran (tamak) dalam hal duniawi.
Justru yang menyuarakan keras antipolitik dinasti itu sebenarnya sikap kontraproduktif (sekalipun menyebut dirinya golongan pro-demokrasi) mengada-ada dan berlawanan dengan hukum. Siapa saja berkehendak untuk mencalon siapa asal memenuhi syarat yang ditentukan, sah saja. Misalnya saudara kandung Bupati Anas, Istri Bupati Anas mendaftar sebagai calon Bupati itu hak pribadi sebagai warga negara. Demokrasi ya demokrasi, tidak ada pembatasan bagi siapa pun yang memenuhi syarat. Hanya saja menurut kajian para akademisi, model yang oleh orang disebut politik dinasti dan memanfaatkan ‘aji mumpung’ itu akan (kalau terlalu kasar dengan kata merusak) dapat mengurangi kualitas demokrasi. Sama sekali tidak ada pelanggaran hukumnya.
Politik dinasti di mata akademisi yang kemudian menjadi referensi mereka yang menyebut dirinya pro-demokrasi seringkali atau berpotensi merusak rasionalitas pemilih. Cara berpikir pemilih lebih mempertimbangkan faktor pengaruh keluarga besar sehingga mengabaikan sisi kualitas sekaligus menutup peluang kompetitor rakyat biasa untuk bisa memenangi kontestasi pilkada.
Berikutnya, karena di luar faktor ketokohan dan popularitas menyangkut biaya tinggi dan permainan jaringan, maka kelak yang dominan turut menentukan jalannya kepemimpinan tentu tidak jauh dari mereka yang menjadi ‘bandar’ dan orang-orang yang mengklaim turut serta memenangkan, sebut saja tim sukses ring satu. Mereka itu yang kerap memainkan peran bak ‘mafia’ di lingkaran kekuasaan. Hal yang tidak bisa dihindari dalam politik khususnya politik lokal.
Tidak ada yang bahaya cara itu sepanjang mereka yang dipercaya oleh rakyat tidak teledor dalam membawa amanah. Prestasi Bupati Anas membangun Banyuwangi, objektif menunjukkan keberhasilan luar biasa. Banyuwangi menjadi viral. Tentu kelemahan beliau juga banyak. Jika benar rekom dari partai terkuat di negeri ini jatuh di antara keluarga Bupati Anas dalam gelar Pilkada di tahun ini, kalaulah masyarakat terancam hilang rasionalitas, demokrasi menjadi kurang berkualitas, itu risiko. Yang penting kalau nanti ditakdirkan memperoleh dukungan terbanyak karena efek kebesaran Bupati Anas, mudah-mudahan amanah itu dalam perjalanan tanpa mengecewakan masyarakat pemilihnya. Semoga.
Kepala SMA Negeri Taruna Santri Darussholah Singojuruh.