Para Bakal Calon Kepala Daerah dianggap banyak uang oleh konstituen.

 

Oleh : Firman Syah Ali

Tahun depan negara kita punya hajatan Pilkada serentak yang akan diikuti oleh 270 daerah. Dinamika jelang Pilkada serentak dirasa sangat tinggi terutama di Surabaya sebagai kota terbesar kedua di Indonesia.

Para tokohpun bermunculan mendeklarasikan diri untuk maju Pilkada, sebagian tokoh hanya disebut-sebut oleh media namun tidak pernah deklarasi. Ada juga tokoh yang tidak pernah muncul di media tapi diam-diam rebutan rekomendasi parpol di Jakarta.

Para Bakal Calon kepala daerah saat ini mulai berlomba-lomba menarik simpati masyarakat dengan tujuan bisa meraup perolehan suara sebanyak-banyaknya dalam pilkada 2020 kelak.

Sosialisasi tersebut pasti penuh dengan suka duka. Menara Madinah coba menghubungi Pengamat politik yang oleh warganet sering dijuluki sebagai Pengamat Netral. Dalam perhelatan Pilpres 2014 dan 2019, akun medsos tokoh ini sering dikunjungi dan dikomentari warganet karena ulasan-ulasannya selalu menetralisir hubungan panas antara buzzer pro Jokowi dengan buzzer kontra Jokowi.

Pengamat politik yang masih keponakan Mahfud MD ini bernama Firman Syah Ali yang akrab disapa Cak Firman. Cak Firman menjawab wawancara Menara Madinah via WA. Menara Madinah disingkat MM, sedangkan Cak Firman disingkat CF.

MM : Apa saja suka duka seorang Calon Kepala Daerah menurut Cak Firman?

CF : Para Calon kepala daerah itu lebih banyak suka ketimbang dukanya, karena nambah teman, nambah jejaring silaturahim.

MM : kalau dukanya?

CF : ya diantaranya karena sebagian konstituen terutama konstituen pedesaan menganggap para Bakal Calon Kepala Daerah itu pabrik duit, banyak uang, dan mereka sengaja mengkaji dan menilai para figur berdasarkan perkiraan kekayaannya. Kalau di Madura ada Bacakada tidak ngasih duit kepada komunitas yang dia datangi, langsung dibilang “sapeh potong”, dan orang yang mengantar kandidat tersebut ke basis komunitas akan dimarahi “lain kali kamu jangan bawa sapeh potong ke sini”. Sapeh Potong itu artinya sapi yang patah tulang kakinya, alias sapi yang tidak bisa diikutkan lomba (karapan). Ini yang merusak negara.

MM : maksud merusak negara?

CF : kalau calon pemimpin selalu diharapkan duitnya, atau pola hubungan kemanfaatan jangka pendek, sama saja sebagian konstituen kita permisif terhadap perilaku korup. Pantas saja sering kita jumpai para koruptor masih sangat dihormati oleh masyarakat.

MM : Sejak kapan oknum konstituen bersikap begitu kepada para Bakal Calon Kepala Daerah?

CF : Perkiraan saya sejak oknum konstituen terlalu banyak membaca berita tentang perilaku korup para pejabat. Sebab awal-awal reformasi nggak begitu kok, nggak masif. Awal-awal reformasi itu banyak teman saya “wong kere munggah bale”, hanya modal intelektualitas, integritas, dan ketokohan tau-tau jadi pejabat publik, karena dipilih oleh masyarakat. Tapi seiring berjalannya waktu mereka mulai tergoda untuk ikut menikmati apa yang pernah dinikmati oleh para pejabat orde baru, sehingga bermunculanlah berita tentang kasus korupsi dimana-mana. Maka opini yang terbangun dalam memori konstituen setiap kali pemilu adalah pemilihan koruptor. Maka masyarakat bermanja-manja minta uang, minta fasilitas ini dan itu dan sebagainya.

MM : seperti lingkaran setan ya? duluan mana telur dengan ayam?

CF : Tepatnya seperti itu.

MM : ada tawaran solusi?

CF : Menurut Hujjatul Islam Al-Imam Ghazali , “Kerusakan grassroot itu karena kerusakan elit politik. Rusaknya elit politik itu karena rusaknya kaum intelektual. Rusaknya kaum intelektual itu karena materialistik. Siapa saja yang materialistik tidak akan kuasa mengawasi hal-hal kecil. Lalu bagaimana pula dia hendak melakukan pengawasan terhadap elit dan perkara besar?”.

MM : berarti kuncinya intelektual jangan diam?

CF : ya betul

MM : terima kasih Cak

CF : Sama-sama.