Solusi Cebong Vs Kampret

 

Oleh : Firman Syah Ali

Sejak Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 hingga detik ini, bangsa indonesia terjebak dalam polarisasi politik yang brutal. Saling hina, saling cemooh, saling ejek, saling buli, saling lempar hoax, saling lempar ujaran kebencian antar dua kubu yang berseberangan tersebut kerap meramaikan layar medsos para warganet indonesia.

Anggap saja kedua kubu tersebut adalah kubu Pro Jokowi dan kubu Kontra Jokowi, sebab lawan dari jokowi berganti-ganti. Tahun 2012 Pro Jokowi melawan pendukung Pro Fauzi Bowo, tahun 2014 Pro Jokowi melawan Pro Prabowo Subianto, tahun 2019 kelompok Pro Jokowi lagi-lagi melawan Pro Prabowo.

Saling ejek antar Pro Jokowi dengan kontra Jokowi menimbulkan banyak istilah. Pro Jokowi diolok-olok sebagai cebong alias anak kodok, sebab jokowi hobby memelihara kodok di kolam rumah dan kolam istana. Sedangkan kontra jokowi diolok-olok sebagai :
1. Kampret, pelesetan dari KMP (Koalisi Merah Putih). Sebuah kelompok koalisi dalam tubuh DPR RI paska kekalahan Prabowo tahun 2014 silam;
2. Panasbung, singkatan dari Pasukan Nasi Bungkus. Karena ada ormas tertentu dalam kubu kontra Jokowi yang setiap selesai aksi selalu melakukan pembagian nasi bungkus;
3. Bani Micin. Sindiran bahwa kelompok kontra Jokowi kurang memiliki banyak penalaran akibat terlalu banyak mengkonsumsi micin. Micin dinilai sebagai bahan penyedap rasa yang bisa menimbulkan kebodohan bagi para konsumen;
4. Onta. Karena di dalam kelompok kontra Jokowi banyak terdapat kelompok etnis keturunan Arab;
5. Kadrun, singkatan dari kadal gurun. Alasannya sama dengan alasan nomor 4 di atas.

serta banyak lagi istilah-istilah ejekan yang sebetulnya menunjukkan bahwa bangsa ini sedang krisis moral dan etika.

Saya melihat komunitas inti dari pendukung jokowi adalah kaum nasionalis sedangkan komunitas inti kelompok kontra Jokowi adalah kelompok islamis alias “islam politik”. Tokoh-tokoh NU sendiri pada tahun 2014 sempat terbagi dua, ada sekelompok tokoh yang mendukung kelompok kontra Jokowi, diantaranya KH Said Aqil Siradj, Habib Luthfi Bin Yahya dan Mbah KH Maimoen Zubair, dan ada sekelompok tokoh yang Pro Jokowi. Namun dalam Pemilu 2019, tokoh NU mayoritas Pro Jokowi, ada yang disampaikan secara implisit dan ada yang disampaikan secara eksplisit.

Pertengkaran brutal di medsos antara Pro Jokowi dan kontra Jokowi sampai makan korban jiwa. Di Sampang Madura terjadi penembakan gara-gara pertengkaran Pro Jokowi Vs Kontra Jokowi tersebut. Tidak sedikit juga suami-isteri bercerai gara-gara pertengkaran pro Jokowi Vs Kontra Jokowi tersebut.

Yang tidak lucu banyak kejadian saling rampas mikrofon saat pengajian, juga kejadian jamaah sholat jum’at bubar gara-gara khatibnya bicara pilpres. Grup Whatssap kantor pemerintahan juga tidak sepi dari pertengkaran antar dua kubu politik tersebut.

Dalam dunia Cebong Vs Kampret, orang mati bukan didoakan malah diolok-olok, orang terkena musibah malah ditertawakan ramai-ramai bahkan dituduh hanya settingan, bahkan mayat saja tidak boleh disholatkan di masjid yang takmirnya kubu tertentu.

Kenapa pertengkaran tersebut sebegitu parahnya? menurut hemat saya, penyebabnya utama pertengkaran berkepanjangan ini adalah politik identitas. Salah satu kubu dalam polarisasi politik ini telah mengeksploitasi perbedaan identitas antar anak bangsa. Identitas dipolitisasi melalui interpretasi ekstrim, yang bertujuan untuk mendapat dukungan dari orang-orang yang merasa ‘sama’, baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya. Puritanisme atau ajaran kemurnian atau ortodoksi juga berandil besar dalam memproduksi dan mendistribusikan (menggoreng) ide ‘kebaikan’ terhadap anggota secara satu sisi, sambil di sisi lain menutup nalar perlawanan atau kritis anggota kelompok identitas tertentu. Fokus utama kajian dan permasalahan yang diangkat oleh para pengasong politik identitas selalu menyangkut perbedaan-perbedaan yang didasarkan atas asumsi-asumsi fisik tubuh, politik etnisitas atau primordialisme, dan pertentangan agama, kepercayaan, atau bahasa.

Apakah masyarakat yang terlanjur terjebak dalam politik identitas tidak bisa diobati. Tidak ada yang tidak bisa di dunia sepanjang Tuhan mengijinkan.

Beberapa upaya yang bisa dilakukan manusia untuk mengakhiri kecanduan terhadap politik identitas adalah :

1. Prinsip Koeksistensi.

Pengertian sederhana dari prinsip koeksistensi adalah prinsip kedua kubu untuk hidup berdampingan secara damai. Saling mengakui eksistensi masing-masing kemudian saling menghargai dan menghormati eksistensi masing-masing kubu. Ini tidak mudah namun tidak mustahil. Dalam kancah politik global, banyak sekali konflik sensitif SARA disembuhkan dengan penerapan prinsip ini.

2. Gusdur Style.
Anggap saja perseteruan sengit itu sebagai lelucon, tanggapi secara kocak, sambil diselingi kalimat “gitu aja kok repot”, insya Allah gegeran akan segera berubah jadi ger-geran.

3. Budaya Literasi.
Tingkatkan budaya literasi agar tidak mudah termakan hoax atau terjebak judul sebuah berita, atau terjebak meme dan video provokatif yang tidak jelas asal-usulnya.

4. Hindari Stereotipe.
Kedua kubu sebaiknya menghindari pola pikir stereotipe. Misalnya semua orang yang Pro Jokowi dituduh anti islam, atheis, komunis, syiah, islam liberal atau kafir alias autokafir. Atau sebaliknya, semua yang kontra Jokowi dituduh pro Khilafah (autokhilafah), anti Pancasila dan anti NKRI. Yang begini-begini ini harus diakhiri, karena Pro Jokowi itu malah mayoritas beragama islam walaupun tidak menganut islam politik yang simbolik-formalistik. Dan Pihak Kontra Jokowi juga banyak yang nasionalis, bukan pendukung ide negara khilafah ala ISIS dan HTI.

Kalau melaksanakan empat hal di atas dirasa sulit, berarti kita sudah kecanduan politik identitas, karena politik identitas itu memang candu.

Selamat mencoba.
Kalau bukan kita, siapa lagi?!
Kalau bukan sekarang, kapan lagi?!

*) Penulis adalah kader NU yang saat ini sedang didukung untuk menjadi walikota Surabaya 2020-2025.