Pusat Pengembangan Literasi LP3M Universitas Jember bekerjasama dengan The Asian Muslim Action Network (AMAN INDONESIA) akan mengadakan “Pelatihan Literasi Perempuan Anti Ekstrimisme” diAULA Lantai 2 LP3M Universitas Jember

Jember-menara madinah.com-Pusat Pengembangan Literasi LP3M Universitas Jember bekerjasama dengan The Asian Muslim Action Network (AMAN INDONESIA) akan mengadakan “Pelatihan Literasi Perempuan Anti Ekstrimisme” diAULA Lantai 2 LP3M Universitas Jember.

Ketua LP3M Universitas Jember Dr. Akhmad Taufiq , S.S., M.Pd. membuka kegiatan ini dalam sambutannya mengucapkan terima kepada Direktur Aman Indonesia Dwi Rubiyanti Kholifah yang telah bekerjasama mengadakan kegiatan ini dan sekaligus menjadi pemateri. Kegiatan ini merupakan suatu agenda yg penting bagi civitas akdemika Universitas Jember dan masyarakat.


Era industri 4.0 yang memaksa manusia terhubung dengan berbagai media komunikasi dan informasi ternyata tidak serta merta membawa dampak positif bagi kesatuan dan persatuan bangsa. Terhubungnya manusia di berbagai penjuru dunia melalui dunia maya membuat berbagai pemikiran dan paham dengan mudah dapat terhubungkan.

Ramainya paham radikal di Indonesia membuat counter pada paham tersebut harus dilakukan secara masif pula. Maraknya aksi yang mengancam semangat kebangsan seperti radikalisme dan terorisme, menjadi perhatian serius pemerintah, dunia pendidikan, dan juga lembaga-lembaga pemerhati semangay kebangsaan.
Munculnya gerakan radikal di Indonesia memiliki latar belakang yang cukup panjang, tidak muncul begitu saja. Faktor-faktor penyebab munculnya gerakan radikal di Indonesia adalah sebagai berikut.
1. Faktor Agama
Gerakan kekerasan agama lebih tepat dilihat sebagai gejala sosial-politik daripada gejala keagamaan. Gerakan kekerasan agama ini oleh negara barat sering disebut sebagai radikalisme Islam. Azyumardi Azra menyatakan bahwa memburuknya posisi negara-negara Muslim dalam konflik utara-selatan menjadi faktor utama munculnya radikalisme. Secara historis dapat dilihat bahwa konflik yang ditimbulkan oleh kalangan radikal lebih berakar pada masalah sosial-politik, yaitu tidak diuntungkannya Umat Islam oleh peradaban global sehingga menimbulkan perlawanan terhadap kekuatan yang mendominasi.
Hal ini yang kemudian memicu munculnya sentimen keagamaan. Solidaritas keagamaan mulai dibangun untuk kawan yang tertindas oleh kekuatan yang dihubungkan dengan agama tertentu. Pembangunan solidaritas keagamaan ini kemudian memicu menguatnya emosi keagamaan dan radikalisme atas nama agama. Padahal sebenarnya bukan agama (wahyu suci yang absolut) yang diperjuangkan. Dalam konteks ini yang dimaksud emosi atau solidaritas keagamaan adalah agama sebagai pemahaman realitas yang sifatnya interpretatif yang bersifat nisbi dan subjektif.

2. Faktor Kultural
Faktor kultural menjadi salah satu pemicu menguatnya radikalisme di Indonesia. Di masyarakat selalu ditemukan usaha untuk melepaskan diri dari jeratan jaring-jaring kultur tertentu yang dianggap tidak sesuai, yaitu antitesa terhadap budaya sekuler. Budaya Barat merupakan sumber sekularisme yang dianggap sebagai musuh yang harus dihilangkan karena dianggap merusak kultur yang ada di Indonesia sehingga paham antiwesternisme akan berusaha menghancurkan simbol-simbol Barat demi tegaknya syarri’at Islam. Kekerasan yang ditempuh kaum radikalisme dalam bentuk penghancuran symbol Barat justru menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memposisikan diri sebagai pesaing dalam budaya dan peradaban. Padahal fakta sejarah menunjukkan bahwa terdapat dominasi negara Barat pada negeri dan budaya Muslim. Peradaban Barat saat ini menjadi ekspresi universal umat manusia yang telah dengan sengaja melakukan proses marjinalisasi kehidupan Muslim. Dengan marginalisasi tersebut memunculkan stereotipe umat Islam menjadi terbelakang dan tertindas.

3. Faktor Politik
Faktor kebijakan pemerintah turut serta dalam mengembangkan paham radikalisme di Indonesia. Pemerintah belum atau kurang dapat mencari akar yang menjadi penyebab munculnya tindak kekerasan (radikalisme) sehingga tidak dapat mengatasi problematika sosial


Selain itu, faktor media Barat yang seringkali memojokkan umat Islam juga menjadi faktor munculnya reaksi keras dari umat Islam. Propaganda-propaganda melalui media memiliki kekuatan besar yang sangat sulit untuk dielakkan.

 

Munculnya gerakan radikal yang marak terjadi akhir-akhir ini menunjukkan belum mampunya pemerintah menangani masalah ini. Namun bukan berarti juga pemerintah dapat langsung mematikan pikiran yang berbeda. Paham radikal sebagai sebuah pemikiran tidak bisa diadili. Paham tersebut bisa diadili jika melakukan penipuan, penculikan, atau jika mendeklarasikan diri sebagai negara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Saat ini pemerintah mengalami kesulitan mengatasi penyebaran jaringan paham radikal karena tidak ada undang-undang yang bisa dijadikan landasan untuk mengendalikan gerakan ini sejak dini.
Perempuan merupakan salah satu aset bangsa yang dapat memerangi paham radikal ini. Hal ini tentu sangat berhubungan dengan stereotype gender yang dilekatkan oleh budaya pada perempuan. Di dalam konteks masyarakat, para perempuan secara tradisional diposisikan menjalankan peran di ranah privat. Namun, seiring perubahan sosial yang terjadi di masyarakat, peran perempuan mengalami perubahan juga ketika konflik berlangsung, misalnya dengan menjadi perempuan tulang punggung keluarga. Akan tetapi, seperti apa bentuk-bentuk lain dari perubahan peran perempuan dari aspek politik, sosial, budaya, dan ekonomi memabut sekolah perempuan tolak ekstrimisme ini menjadi cukup penting. Dengan tingkat literasi yang rendah, perempuan menjadi obyek dan menjadi korban eksploitasi berbagai pihak
Penting bagi perguruan tinggi untuk memasyarakatkan peran perempuan dalam memerangi pemahaman antiradical. Hal ini menjadi alasan pentingnya pelaksanaan literasi perempuan terkait dengan Perempuan dan Pencegahan Ekstrimisme.

Kegiatan ini bertujuan:
1. meningkatkan pemahaman perempuan dalam memerangi paham ekstrimisme;
2. meningkatkan pemahaman mahasiswa terkait dengan perempuan dalam mencegah dan memerangi
paham ekstrimisme.

Im Jurnalis Citizen